ARTIKEL LGBT
Generasi
Z adalah generasi yang lahir setelah generasi Y. Generasi ini lahir dalam
rentang tahun 1996 sampai dengan tahun 2012. Selain itu generasi Z juga
masih muda dan tidak mengenal kehidupan tanpa teknologi.
Generasi
ini dianggap memiliki kemampuan dalam menguasai teknologi sejak lahir karena
mereka hidup di zaman teknologi. Tidak hanya dikenal sebagai generasi teknologi
saja, generasi Z juga dikenal sebagai generasi digital dikarenakan lahir saat
perkembangan internet sudah mewabah. Internet memiliki peran penting dalam
perkembangan sosial budaya masyarakat karena perkembangan pesat internet
sejalan dengan lahirnya media sosial yang menjadi dunia ke dua bagi generasi Z.
Media
sosial adalah hal lumrah bagi masyarakat Indonesia terkhusus pada generasi Z
yang menjadikannya rumah ke dua bagi mereka. Generasi Z memiliki minat yang
tinggi terhadap kehidupan di dunia maya dan bahkan mereka tidak bisa hidup
tanpa adanya media sosial. Hal ini dikarenakan kemudahan mereka untuk mengakses
berbagai platform yang tersedia seperti contohnya; instagram, tiktok, whatsapp,
twitter, telegram, line, dan lain sebagainya.
Dampak
dari adanya kemudahan untuk mengakses sosial media tersebut menciptakan
internet sebagai sumber referensi utama bagi masyarakat dalam mencari suatu
informasi. Selain adanya dampak positif, terdapat juga dampak negatif akibat
kemudahan dalam mengakses sosial media, dapat membuka situs situs dewasa dan
adanya cyber clime.
Platform
media sosial terbesar twitter memiliki banyak sekali dampak positif dan negatif
yang terdapat pada media sosial tersebut. Ibarat kertas putih, twitter
dapat dilukis dengan tinta hitam dan tinta merah, yang artinya kita dapat
menggunakannya untuk kebaikan dan keburukan. Twitter dapat dijadikan sebagai
sarana komunitas untuk belajar online secara bersama, akan tetapi kita juga
dapat menemukan komunitas-komunitas terlarang di media sosial twitter seperti
LGBT.
Twitter
merupakan ruang maya paling aman bagi mereka komunitas LGBT untuk dapat
mengekspresikan diri mereka secara bebas. Twitter menjadi ruang aman bagi
komunitas LGBT karena di sanalah mereka dapat menuliskan tweet secara bebas dan
dapat menjadi diri mereka sendiri. Walaupun dapat mengguakan platform ini
secara bebas, mereka lebih memilih untuk menyembunyikan identitas diri mereka
atau yang seperti biasa kita kenal yaitu akun alternatif. Akun-akun alternatif
bukanlah suatu feomena yang aneh di dunia maya. Karena tidak selalu pengikut
komunitas LGBT yang memiliki akun alternatif, orang normal pada biasanya juga
memiliki akun alternatif untuk mengutarakan pendapat tanpa ingin diketahui
identitasnya.
Banyak
dari mereka bagian dari LGBT yang memilih mengggunakan akun alternatif karena
mereka sadar dan mengerti bahwa Indonesia belum ramah untuk komunitas seperti
ini. Anggota komunitas LGBT yang terbuka di Indonesia pada umumnya akan
mendapatkan banyak kekerasan dan diskriminasi dalam kehidupan mereka secara
sosial. Diskriminasi dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, tempat
tinggal, kesehatan, dan kesejahteraan. Seperti kasus yang baru saja terjadi
dihukumnya LGBT dalam tubuh TNI.
Kelompok
LGBT pada umumnya memiliki keinginan untuk dapat diperlakukan secara adil dan
sama di berbagai bidang apapun agar mereka dapat menjalankan hak dan kewajiban
mereka secara merdeka tanpa adanya batasan dari masyarakat umum agar dapat
mengembangkan diri untuk berkarya dan berkontribusi dalam pembangunan.
Selain
media sosial twitter, tiktok juga menjadi tempat yang cukup bebas bagi
komunitas LGBT untuk mengungkapkan keresahan mereka melalui video konten yang
mereka buat.
Berbeda
dengan media sosial twitter yang mereka memilih untuk membuat tulisan dengan
akun alternatif, pada media sosial tiktok para penggunanya terkhusus komunitas
LGBT secara terang-terangan menunjukan identitas mereka dan menyatakan diri
mereka sebagai bagian dari komunitas LGBT. Banyak dari mereka yang membuat
konten secara terbuka karena memiliki tujuan khusus dibaliknya, seperti ingin
mendapatkan perhatian lebih banyak dari pengguna sesama media sosial dan
menaikkan jumlah pengikut dan fitur suka pada akun media sosial mereka,
sehingga mereka tidak malu dan takut untuk terbuka karena ada kepuasan yang
mereka dapatkan.
Pandangan
masyarakat terhadap komunitas LGBT tergantung pada latar belakangnya baik dari
sisi agama dan lingkungan sosial. Sebagian besar masyarakat tidak mendukung
adanya komunitas LGBT dan bahkan menghujat perilaku dan orientasi seksual
mereka. Akan tetapi ada juga yang memiliki pandangan netral terhadap komunitas
ini yang memiliki alasan karena hak asasi. Menjadi bagian dari komunitas LGBT
bukanlah hal yang mudah dan tentunya akan mendatangkan banyak masalah dan
resiko apabila generasi Z terlibat dalam hubungan sejenis, kurangnya
pengetahuan tentang resiko yang akan dihadapi akibat hubungan seks bebas
membuat mereka mudah terpapar virus HIV dan menjadi korban pelecehan seksual
dari pelaku yang lebih berpengalaman.
Banyak
orang berpendapat bahwa LGBT disebabkan oleh faktor biologis dan genetik dari
sosial akibat pengaruh dari lingkungan. Seseorang dapat memiliki kelainan
seperti ini karena faktor keturunan atau kelainan yang ada pada genetiknya
sejak dia lahir.
Dalam
kalangan masyarakat, LGBT dianggap sebagai salah satu bagian dari penyakit
gangguan mental. Akan tetapi perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa gangguan
mental adalah ketika seseorang mendapatkan masalah pada diri sendiri ataupun
mendapatkan masalah dari orang lain. Walaupun banyak penolakan komunitas LGBT
di Indonesia, masih banyak LGBT yang mendapat penerimaan dari lingkungannya,
jadi dapat disimpulkan bahwa LGBT bukanlah gangguan mental walaupun banyak yang
mengatakan sebaliknya akan tetapi penelitian menunjukan bahwa orientasi ini
normal dalam kehidupan manusia.
LGBT
bukanlah penyakit yang harus disembuhkan, akan tetapi orientasi seksual ini
bagi sebagian orang dianggap tabu, terkhusus bagi masyarakat yang ada di
Indonesia. Banyaknya tekanan dan pemberian label pada orientasi seksual ini
membuat sebagian anggota LGBT tidak mau mencari jalan keluar atas perasaan yang
mereka rasakan. Hal tersebut yang memberikan dorongan bagi para aktivis untuk
memperjuangkan hak asasi kaum LGBT.
LGBT
dikatakan sebagai komunitas terlarang generasi Z karena pada dasarnya mereka
yang tergabung dan menjadi bagian dari LGBT memilih untuk diam dan menyimpan
dalam-dalam tentang orientasi seksual yang mereka miliki. Karena masyarakat
pada umumnya merasa tidak nyaman dan bahkan tidak dapat hidup berdampingan
dengan adanya keberadaan LGBT di sekitar lingkungan mereka. Mereka akan
melakukan perilaku yang kurang baik dan bahkan hujatan maupun sindiran kepada
anggota komunitas LGBT.
Penerimaan
terhadap ekspektasi LGBT oleh masyarakat dapat kita lihat dalam bidang politik,
masyarkat umum masih belum bisa mengakui hak politik LGBT. Dalam bidang ekonomi
masyarakat berpendapat bahwa LGBT dapat bekerja dimanapun mereka berada sesuai
dengan keahlian yang mereka miliki.
Dalam
bidang keagamaan, tidak ada penolakan bagi kaum LGBT untuk dapat beribadah
kepada Tuhan mereka, justru masyarakat lebih senang dan mendorong kaum LGBT
untuk dapat mengikuti kegiatan keagamaan agar mereka lebih memahami ajaran
agama mereka sehingga dapat membuat mereka sadar dan kembali ke jalan yang
benar. Akan tetapi, dalam pusaran pro dan kontra mengenai LGBT, kita kembali
pada keyakinan kita, tanpa menghakimi.
APA ITU LGBT ?
LGBT atau GLBT adalah akronim dari
"lesbian, gay, biseksual,
dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak
tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena
istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk
menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT
digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual,
bukan hanya homoseksual, biseksual,
atau transgender. Maka dari itu, sering kali huruf Q ditambahkan
agar queer dan
orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili
(contoh. "LGBTQ" atau "GLBTQ", tercatat semenjak tahun 1996
Istilah LGBT sangat banyak digunakan
untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga digunakan oleh mayoritas komunitas dan
media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan
beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.
Tidak semua kelompok yang disebutkan
setuju dengan akronim ini. Beberapa orang dalam kelompok yang disebutkan
merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman
ini.]Beberapa
orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama
dengan pergerakan kaum "LGB". Terdapat pula keyakinan
"separatisme lesbian & gay", yang meyakini
bahwa kelompok lesbian dan gay harus dipisah satu sama lain Selain itu,
ada juga yang tidak menggunakan istilah ini karena mereka merasa bahwa: akronim
ini terlalu politically correct; akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk
mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu; dan penggunaan akronim ini
menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian
yang setara. Di sisi lain, kaum interseks ingin
dimasukkan ke dalam kelompok LGBT untuk membentuk "LGBTI" (tercatat
sejak tahun 1999Akronim "LGBTI" digunakan dalam The Activist's Guide of the Yogyakarta Principles in
Action.
Sejarah
Sebelum revolusi
seksual pada
tahun 1960-an, tidak ada kosakata non-peyoratif untuk
menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender
ketiga",
telah ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak diterima secara luas.[15][16][17][18][19][20]
Istilah pertama yang banyak digunakan, "homoseksual",
dikatakan mengandung konotasi negatif dan cenderung digantikan oleh "homofil" pada
era 1950-an dan 1960-an, dan lalu gay pada
tahun 1970-an.Frasa "gay dan lesbian" menjadi lebih umum setelah
identitas kaum lesbian semakin terbentuk. Pada tahun 1970, Daughters of
Bilitis menjadikan
isu feminisme atau hak kaum gay sebagai prioritas. Maka, karena
kesetaraan didahulukan, perbedaan peran antar laki-laki dan perempuan dipandang
bersifat patriarkal oleh feminis
lesbian.
Banyak feminis lesbian yang menolak bekerja sama dengan kaum gay. Lesbian yang
lebih berpandangan esensialis merasa bahwa pendapat
feminis lesbian yang separatis dan beramarah itu merugikan hak-hak kaum
gay.Selanjutnya, kaum biseksual dan transgender juga meminta pengakuan dalam
komunitas yang lebih besar.[2] Setelah
euforia kerusuhan Stonewall mereda,
dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an, terjadi perubahan pandangan;
beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum biseksual dan transgender. Kaum
transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan
biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual
mereka. Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang
untuk mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana
bersekutu dengan komunitas lain; konflik tersebut terus berlanjut hingga kini.
Akronim LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai
dari sekitar tahun 1988. Baru pada tahun 1990-an istilah ini banyak
digunakan. Meskipun komunitas LGBT menuai kontroversi mengenai penerimaan
universal atau kelompok anggota yang berbeda (biseksual dan transgender
kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang
positif. Walaupun singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil
(lihat bagian Ragam di bawah), akronim ini secara umum dianggap mewakili kaum
yang tidak disebutkan. Secara keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah
membantu mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum.
Aktris transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebut
komunitas LGBT sebagai "minoritas besar terakhir", dan menambahkan
bahwa "Kita masih bisa diganggu secara terbuka" dan "disebut di
televisi."
Ragam
Ada banyak ragam yang mengganti susunan huruf dalam akronim ini.
LGBT atau GLBT merupakan istilah yang paling banyak digunakan saat
ini. Meskipun maknanya sama, "LGBT" punya konotasi yang
lebih feminis dibanding "GLBT" karena menempatkan "L"
terlebih dahulu. Akronim ini saat tidak meliputi kaum transgender
disingkat menjadi "LGB".Huruf "Q" untuk "queer" atau
"questioning"
(mempertanyakan) kadang-kadang ditambahkan (contoh,
"LGBTQ", "LGBTQQ", atau "GLBTQ?"). Huruf
lain yang dapat ditambahkan adalah "U" untuk "unsure"
(tidak pasti); "C" untuk "curious" (ingin tahu);
"I" untuk interseks;
"T" lain untuk "transeksual" atau
"transvestit"; "T",
"TS", atau "2" untuk "Two‐Spirit"; "A" atau
"SA" untuk "straight
allies" (orang heteroseksual yang mendukung pergerakan LGBT); atau
"A" untuk "aseksual".[32][33][34][35][36] Ada
pula yang menambahkan "P" untuk panseksualitas atau
"polyamorous," dan "O" untuk
"other" (lainnya). Susunan huruf-huruf tersebut tidak
terstandardisasi; huruf-huruf kurang umum yang telah disebutkan dapat
ditambahkan dalam susunan apapun. Istilah yang beragam tidak mewakili
perbedaan politis antar komunitas, tetapi muncul dari prarasa individu dan
kelompok. Istilah panseksual, omniseksual, fluid,
dan queer dianggap
masuk ke dalam "biseksual". Demikian pula, bagi beberapa orang
istilah transeksual dan interseks masuk ke dalam "transgender",
meskipun banyak transeksual dan interseks yang menolaknya.
"SGL" ("same gender
loving", pecinta sesama jenis) kadang-kadang digunakan orang Afrika-Amerika untuk
memisahkan diri dari komunitas LGBT yang menurut mereka didominasi orang kulit
putih. "MSM" ("men who have sex with men", laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki) secara sinis dipakai untuk
mendeskripsikan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tanpa
merujuk pada orientasi seksual mereka.
Frasa "MSGI" ("minority sexual and gender
identities", identitas seksual dan gender minoritas) yang
diperkenalkan pada tahun 2000-an digunakan untuk merangkum semua huruf dan
akronim, namun masih belum banyak digunakan. Majalah Anything That
Moves menciptakan
akronim FABGLITTER (Fetish seperti
komunitas gaya hidup BDSM, Allies atau poly-Amorous, Biseksual, Gay, Lesbian, Interseks, Transgender, Transsexual Engendering
Revolution (Revolusi Kelahiran Transeksual) atau inter-Racial attraction
(ketertarikan antar ras)), tetapi istilah ini juga tidak banyak digunakan.
Akronim lain yang mulai menyebar pengunaannya adalah QUILTBAG (Queer/Questioning, Undecided
(belum ditentukan), Interseks, Lesbian, Trans, Biseksual, Aseksual, Gay).
Akan tetapi, istilah ini juga belum umum.
Kritik
Tidak semua orang yang disebutkan setuju dengan istilah LGBT atau
GLBT. Contohnya, ada yang berpendapat bahwa pergerakan transgender dan
transeksual tidak sama dengan lesbian, gay, dan biseksual (LGB). Argumen
ini bertumpu pada gagasan bahwa transgender dan transeksualitas berkaitan
dengan identitas gender yang terlepas dari orientasi
seksual. Isu
LGB dipandang sebagai masalah orientasi atau rangsangan seksual. Pemisahan ini
dilakukan dalam tindakan politik: tujuan LGB dianggap berbeda dari transgender
dan transeksual, seperti pengesahan pernikahan sesama jenis dan
perjuangan hak asasi yang tidak menyangkut kaum transgender dan interseks Beberapa
interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok LGBT dan lebih menyukai istilah
"LGBTI", sementara yang lainnya meyakini bahwa mereka bukan bagian
dari komunitas LGBT dan lebih memilih tidak diliputi dalam istilah tersebut.
Ada pula keyakinan "separatisme lesbian dan gay" (tidak
sama dengan "separatisme lesbian"), yang
meyakini bahwa lesbian dan gay sebaiknya membentuk komunitas yang terpisah dari
kelompok-kelompok lain dalam lingkup LGBTQ. Meskipun jumlahnya tidak cukup
besar untuk disebut pergerakan, kaum separatis berperan penting, vokal, dan
aktif dalam komunitas LGBT. Dalam beberapa kasus separatis menolak
keberadaan atau hak kesetaraan orientasi non-monoseksual dan transeksualitas. Hal
ini dapat meluas menjadi bifobia dan transfobia. Separatis
punya lawan yang kuat - Peter Tatchell dari kelompok hak LGBT OutRage! berpendapat bahwa memisahkan transgender dari LGB merupakan
"kegilaan politik".[
Banyak orang mencoba mengganti singkatan LGBT dengan istilah
umumKata seperti "queer" dan "pelangi" telah
dicoba tetapi tidak banyak digunakan. "Queer" mengandung
konotasi negatif bagi orang tua yang mengingat pengunaannya sebagai hinaan dan
ejekan dan penggunaan (negatif) semacam itu masih terus berlanjut. Banyak
pula orang muda yang memahami queer sebagai istilah yang lebih
politis dibanding "LGBT". "Pelangi" punya konotasi
yang berkaitan dengan hippies,
pergerakan Zaman Baru, dan organisasi seperti Rainbow/PUSH Coalition di Amerika
Serikat.
Penggambaran "komunitas LGBT" atau "komunitas
LGB" juga tidak disukai beberapa lesbian, gay, biseksual, transgender, dan
juga ontolog. Beberapa tidak setuju dengan solidaritas politis dan
sosial, serta kampanye hak asasi manusia dan visibilitas yang biasanya
mengiringinya, termasuk gay
pride. Beberapa
dari mereka meyakini bahwa mengelompokkan orang dengan orientasi
non-heteroseksual menimbulkan mitos bahwa menjadi gay/lesbian/bi menjadikan
seseorang berbeda dari yang lain. Orang-orang semacam ini tidak banyak
terlihat jika dibandingkan dengan aktivis gay atau LGBT lain. Faksi ini
sulit dipisahkan dari orang-orang heteroseksual, sehingga umum bagi orang untuk
menduga bahwa semua LGBT mendukung kebebasan dan visibilitas LGBT dalam
masyarakat, termasuk hak seseorang untuk hidup berbeda dari yang
lain. Dalam buku "Anti-Gay", koleksi esai tahun 1996 yang
disunting oleh Mark
Simpson,
konsep identitas "satu ukuran cocok untuk semua" yang didasarkan
pada stereotip LGBT dikritik karena menekan
kepribadian kaum LGBT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar