Tampilkan postingan dengan label Peranan PERS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peranan PERS. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Januari 2011

Fungsi PERS

Fungsi PERS & Peranan PERS
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, dijelaskan bahwa Organisasi pers ialah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi media periklanan, yang disetujui oleh Pemerintah.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam pembangunan, maka pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan fungsi Pers, menurut pasal 3 Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang penting yaitu: sebagai media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers harus menerapkan prinsip‑prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para karyawan media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Di samping itu, pers juga berfungsi menyebarkan informasi yang objektif, penyalur aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Pelaksanaan fungsi pers tersebut sangat penting dalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. yang demokratis. Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas, dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Dengan demikian dapat kita lihat peranan pers sangat penting dalam memperjuangkan terwujudnya tatanan baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar golongan, dan intemasioal, khususnya di bidang pers. Dimana kegiatan pers ini dapat menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh kesatuan dan persatuan nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, Pers Nasional memiliki lima tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:
a. melestarikan dan memasyarakatkan Pancasila sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila;
b. memperjuangkan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat berlandaskan Demokrasi Pancasila;
c. memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab;
d. menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, mempertebal rasa tanggung jawab dan disiplin nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan; serta
e. memperjuangkan terwujudnya tata international baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar regional dan international khususnya di bidang pers.
Menurut pasal 6 Undang‑undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pers Nasional melaksanakan peranan sebagai berikut
    1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
    2. Menegakkan. nilai‑nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
    3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi. yang tepat, akurat dan benar,
    4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal‑hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
    5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu "adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan atau pekerja pers dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan, perundang-undangan yang berlaku".
Masalah Kebebasan Pers Di Indonesia
1. Kebebasan Pers Sebagai Prasyarat Penyiaran Instrumen Kontrol Dalam Negara Demokrasi
Dalam wawancara dengan The World Association of Newspapers berkaitan dengan hari Kebebasan Pers se-Dunia, sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa media massa dunia kini berperan utama dalam memajukan kebebasan dan pertukaran informasi dan gagasan dalam skala global. Kebebasan itu merupakan prasyarat utama bagi demokratisasi, pembangunan, serta perdamaian. Bahkan kebebasan informasi merupakan investasi melawan – dan mencegah lahirnya kembali-tirani. Pernyataan Annan tersebut tersirat dengan jelas, bagaimana keberadaan lembaga Pers (yang akrab di sebut media massa) sangatlah penting bagi terwujudnya demokratisasi dalam kehidupan berbagai dan bernegara.
Kebebasan mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan atau cetak, merupakan salah satu nilai-nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui dan di jamin secara universal. Kebebasan mendapatkan informasi dan kemerdekaan menyatalam pendapat terkait erat dengan kebebasan dan kemerdekaan pers. Seringkali, kebebasan dan kemerdekaan pers merupakan salah satu pelaksanaan prinsip negara demokrasi. Dalam artian, pers merupakan pilar ke empat (the fourt estate) demokrasi.
Di masa berkuasanya rezim Orde Baru, otokrasi kekuasaan yang tampil dalam keseharian dapat terlihat dengan tidak terlaksanakannya Pasal 28 UUD 1945 secara sungguh-sungguh. Ketidak demokratisan sistem hukum ketatanegaraan yang di bangung Orde Baru menisbikan peran dan fungsi lembaga Pers. Pemberlakukan UU No. 21 tahun 1982, khususnya pada pasal 13 ayat (5) yang menyatakan bahwa :
Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat ‘SIUPP’, yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengarkan pertimbangan Dewan Pers.
Dari landasan hukum inilah, Orde Baru membangung kebijakan sensor dan pelembagaan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang mengekang bagi pemberhentian Pers yang bersebarangan dengan penguasaan. Dengan adanya Permenpen No. 01/Per/1984; tentang lembaga SIUPP, dalam praktek kehidupan ketatanegaraan terjadi (contoh kasus) pembreidelan Majalan Tempo dan Detak. Sehingga proses pembangunan dan pelaksanaan pemerataan hasil-hasil pembangunan selama 32 tahun, tidaklah dapat dikontrol secara transparan kepada publik melalui media massa.
Maka, dimana pemerintahan B.J. Habibie, memulai proses keterbukaan bagi lahirnya kran-kran demokrasi, salah satunya kebebasan dan kemerdekaan pers. Lahirnya Permenpen No. 01/Per/1998 sebagai pengganti Permenpen No.01/Per/1984 mempermudah pengajuan SIUPP dan berdampak lahirnya pers dalam jumlah yang sangat menakjubkan, baik media cetak maupun media elektronik. Sementara ditingkat aturan perundangan yang mengatur pers dengan diberlakukannya UU No. 40 tahun 1999, sebagai pengganti UU No. 21 tahun 1982, meletakkan jaminan kebebasan kemerdekaan bagi lembaga pers. Akan tetapi, sistem hukum ketatanegaraan dalam masa reformasi hingga tahun 2003 belumlah benar memberikan kebebasan dan kemerdekaan sepenuhnya bagi pers. Menurut Leo Batubara, tercatat masih ada terdapat 45 – dalam KUHP terdapat 35 pasal, di dalam UU No. 8 tahun 1999; tentang Perlindungan Konsumen terdapat 1 pasal, dan sembilan pasal dalm UU No.32 Tahun 2002; tentang Penyiaran pasal yang bisa mengekang kreatifitas atau ekstemnya memenjarah para komunitas pers.
Dalam masa reformasi perubahan yuridis atas keberadaan pers merupakan prasyarat terjadinya liberalisasi sistem politik sebagai upaya melahirkan media komunikasi sosial-politik dalam kehidupan bernegara. Masa-masa transisional yang ditandai dengan membuka ruang-ruang komunikasi publik (masyarakat) merupakan perwujudan hak-hak politik bagi setiap warga negara atau kelompok-kelompok sosial mengenai kebebasan mendapatkan informasi dan hak kemerdekaan atas menyampaikan pendapat/gagasan secara lisan maupun tulisan atau cetak.
Akan tetapi, euphoria politik dalam era reformasi sepanjang kebebasan dan kemerdekaan pers ini tidaklah serta-merta memiliki persoalan di kemudian hari dengan begitu saja. Keberadaan lembaga pers terkadang terkesan masuk dalam situasi pro dan kontra dalam setiap dinamika peristiwa-peristiwa politik yang sedang berkembang, 1998-2002. Kesan pro-kontra inipun, dalam waktu seketika membangkitkan sikap kontra demokratis sebagai pendukung kekuatan politik yang merasa dirugikan atas pemberitaan Pers. Kasus pendudukan dan penyegelan ilegal kantor SKH Jawa Pos pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau premanisme dalam kasus penyerangan kantor SKH Tempo di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Berangkat atas kasus tersebut, kebebasan dan kemerdekaan Pers menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh sebagai upaya membangun infrastruktur politik ketatanegaraan Indonesia yang demokratis. Pilihan yang dilematis dihadapi oleh kalangan Pers di era reformasi; di satu sisi, jikalau, pers di kekang maka upaya pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokrasi, mengalami perbaikan arah reformasi. Disisi lain, kebebasan dan kemerdekaan Pers tanpa diikuti oleh upaya transpormasi kultur demokrasi dari Pers kepada masyarakat pembaca sama halnya dengan lahirkan anarkhisme atau pemicu lahirnya konflik horizontal di kalangan massa rakyat.
Pada esensialnya keberadaan peran media massa (Pers) memiliki 2 (dua) fungsi pokok, yakni; pertama, Kelembagaan Pers merupakan media pendidikan politik massa rakyat. Kedua, kelembagaan Pers merupakan media komunikasi politik. Perdebatan media massa itu harus independen objektif ataupun pilihan keberpihakan yang sangat partisan. Karena, pemberitaan yang terkesan pulgar mengambil sikap memihak akan cenderung menjadi pemberitaan yang bersifat provokatif. Pemberitaan dalam setiap media massa cukuplah mempengaruhi perkembangan kepribadian bangsa dalam kehidupan bernegara. Keberadaan pemberitaan Pers dalam meliput berbagai peristiwa SARA menjadi sangat penting dan kasus maraknya pornografi dalam pemberitaan Pers.
Disamping itu dalam konteks internal kalangan Pers sendiri memiliki persoalan yang sangatlah signifkan. Dimana, pada sistem politik yang tidak demokratis, dalam artian, seperti otoriter ataupun totaliter. Keberadaan Pers menjadi korban kontrol secara ketat oleh negara, yakni rezim penguasa. Sementara, kemungkinan di dalam sistem politik yang demokrasi, keberadaan media massa dikontrol oleh modal dan keinginan pangsa-pasar. Kepemilikan modal yang kuat dari perseoranagan di dalam perusahaan Pers, memungkinkan lahirnya rezim pasar yang mengkooptasi pemberitaan yang disajikan. Otomatis setiap pemberitaan sering lebih mengarah pada akumulasi modal dengan cara lebih memprioritaskan isu-isu yang elitis sebagai pemenuhan kebutuhan pangsa-pasar (pembaca). Akan tetapi, kemungkinan dengan adanya unsur demokratis dari para jurnalis yang berada dalam struktur kelembagaan Pers, memungkinkan untuk tetap terjaganya pemberitaan Pers yang disajikan bersifat netral dan profesional. Leo Batubara mengagas 7 (tujuh) formulasi peran dan fungsi pers dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia demokratis, yakni (Ibid) : Pertama, upaya merubah kultur penyelenggaraan negara, Kedua, mereformasi paradigma hukum nasional dari kebiasaan mengkriminalisasikan pers ke arah dekriminalisasi pers seperti yang lazim berlaku di negara-enagra demokrasi; Ketiga, membangun model interaksi-pers, penyelenggara negara, dan masyarakat – berdasarkan sistem : a) Pers bebas memerankan diri sebagai pemberi peringatan dini, wadah dialog yang memberi pencerahan dan kekuatan keempat demokrasi. b). Peran dan tugas pers nasional hanya efektif dan bermakna bila penyelenggaraan negara juga melakukan reformasi sikap dengan belajar mendengar, merespon, dan menindaklanjuti apa kata Pers profesional sebagai cermin suara hati bangsa. Keempat, memberdayakan UU No. 40 tahun 1999 sebagai landasan yuridis penyelenggaraan pers. Kelima, penegakan hukum hendaknya responsif terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan dan pers. Keenam, memposisikan wartawan selayaknya sebagai petugas palang merah. Ketujuh, melaksanakan fungsi kontrol sosialnya dan peran pengawasan, kritik, serta koleksi. Pelaku pers haruslah taat kepada prinsip profesionalisme pers.
Sementara, idealnya fungsi kontrol dan pengawasan pers ini diatur dalam pasal 28 dan pasal 28F UUD 1945. Kontrol kekuasaan negara di luar lembaga-lembaga kontrol negara yang konstitusional. Tidak menutup kemungkinan Pers dapat pula berperan serta aktif memimpin secara ide dan gagasan akan setiap pergeseran kultur masyarakat Indonesia yang sedang bergerak menuju format tatanan sosial masyarakat yang demokratis. Peran Pers sebagai fungsi sosial diartikan, sebagai pendidikan berorientasi partisipatif politik, pembentukan nilai-nilai moral bangsa, serta sebagai kontrol atas penegakan dan pemberlakuan hukum dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
2. Dasar Hukum Pers dan Kebebasan Pers
Aturan mengenai pers mula-mula dimuat dalam UU Nomor (No.) 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1966 No.40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 1966 No.2815, yang telah diubah terakhir dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1967, yang dapat disebut UUP lama (UUPL). Pada tanggal 23 September 1999, seiring dengan berlangsungnya reformasi sosial dan reformasi hukum, dengan pertimbangan bahwa UUPL tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman, maka diundangkanlah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yang untuk selanjut-nya akan disebut sebagai UUP. Diundangkannya UUP sekaligus menyatakan bahwa UUPL tidak berlaku lagi. Selain itu, UU No.4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Keter-tiban Umum, Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai bulletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, juga dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya. Pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana pun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena UUPL sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain kelima dasar pertimbangan di atas, dalam Penjelasan Umum UUP disebutkan enam pokok pikiran yang dirumuskan dalam membentuk UUP. Pertama, agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945 maka perlu dibentuk UUP. Kedua, adanya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transaparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Ketiga, dipahami bahwa pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM. Keempat, diyakini bahwa pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi nepotisme (KKN), maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Kelima, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Keenam, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UUP ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Senada dengan kelima dasar pertimbangan dan keenam pokok pikiran diundangkannya UUP di atas, pada akhir bulan April 2004 Komisi Konstitusi (KK) setuju memasukkan perlindungan kebebasan pers di dalam UUD 1945, dan akan diatur dalam Pasal 28 huruf G. Bunyi rumusan pasal yang disepakati akan masuk dalam Pasal 28 huruf G UUD 1945 itu adalah, Negara melindungi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan pers adalah bagian dari hak azasi manusia yang harus diakui dan dilindungi dalam konstitusi. Penyebutan secara eksplisit ini sangat penting, dan dimaksudkan agar pemerintah atau parlemen yang melaksanakan konstitusi tidak seenaknya menjabarkan perlindungan kemerdekaan pers sesuai dengan politik hukum penguasa saat itu.
Seperti sudah disebutkan di atas, UUP diundangkan pada tahun 1999, sedang KK baru pada akhir April 2004 menyetujui dimasukkannya perlindungan negara atas kebebasan pers di dalam UUD 1945. UUP menggunakan istilah kemerdekaan pers, dan KK menggunakan istilah kebebasan pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara istilah kemerdekaan pers dengan istilah kebebasan pers. Istilah yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan pers, tetapi dalam bahasa lisan, lebih suka digunakan istilah kebebasan pers. Kemerdekaan pers adalah kebebasan pers, dan sebaliknya kebebasan pers adalah kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan sebagai jaminan kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak men cari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers dengan demikian akan disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28 huruf G UUD 1945, dan dalam UU Pers.
Selain dasar hukum yang disebutkan di atas, dikenal pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000. Para wartawan Indonesia yang melaksanakan tugasnya, wajib memahami dan mematuhi KEWI yang dapat disebut sebagai hukum disiplin bagi mereka. KEWI itu diibaratkan sebagai lilin pemandu bagi para wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan.
Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Wartawan Indonesia Menghormati Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi Yang Benar.
b. Wartawan Indonesia Menempuh Tatacara Yang Etis Untuk memperoleh Dan Menyiarkan Informasi Serta Memberikan Identitas Kepada Sumber Informasi.
c. Wartawan Indonesia Menghormati Asas Rraduga Tak Bersalah, Tidak Mencampurkan Fakta Dengan Opini, Berimbang, Dan Selalu Meneliti Kebenaran Informasi Serta Tidak Melakukan Plagiat.
d. Wartawan Indonesia Tidak Menyiarkan Informasi Yang Bersifat Dusta, Fitnah, Sadis, Cabul, Serta Tidak Menyebutkan Identitas Korban Kejahatan Susila.
e. Wartawan Indonesia Tidak Menerima Suap Dan Tidak Menyalahgunakan Profesi.
f. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, Menghargai Ketentuan Embargo, Informasi Latar Belakang, Dan Off The Record Sesuai Kesepakatan.
g. Wartawan Indonesia Segera Mencabut Dan Meralat Kekeliruan Dalam Pemberitaan Serta Melayani Hak Jawab.
3. Akar Sistem Kebebasan Pers Indonesia
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Istilah yang beredar dewasa ini adalah hak publik untuk tahu dan tanggung jawab pers. Ini mengisyaratkan pergeseran teoritis atas konsepsi kebebasan pers, yakni dari semula bertumpu pada individu ke masyarakat. Kebebasan pers yang semua dianggap sebagai kebenaran universal, kini hanya diartikan sebagai akses publik, atau hak masyarakat untuk tahu. Sulit dipastikan kapan para pengelola media mulai mengaitkan tanggung jawab dengan kebebasan. Di masa lalu, ketika mereka terbatas pada penerbit koran, etika jurnalisme jarang sekali disebut-sebut. Pada periode berikutnya, ketika para penerbit koran memihak atau menjalin kedekatan dengan kelompok politik tertentu, kepentingan publik cenderung dinomorduakan. Namun pada pertengahan abad 19, muncul keyakinan bahwa koran harus netral, dan justru harus turut menyehatkan iklim politik, bukan mengeruhkannya. Lalu muncul para penerbit seperti Henry Raymond dari The New York Times yang beranggapan koran tidak boleh memihak kelompok politik, tetapi boleh memihak pada pemikiran politik tertentu guna turut mengupayakan kesejahteraan umum. Berikutnya muncul penerbit seperti William Rockhill Nelson dari Star di Kansas City yang menganggap koran sebagai ujung tombak kemajuan masyarakat. Dalam semua pandangan ini, tersirat pengakuan bahwa koran memang memikul tanggung jawab sosial tertentu.
Pada abad 20, kian banyak pengelola koran yang bicara tentang kewajiban sosial pers sebagai pendukung upaya memasukkan masyarakat. Pada tahun 1904 Joseph Pulitzer menggunakan 40 halaman terbitan North American review untuk mendukung gagasannya bagi dibentuknya semacam akademi jurnalistik. Seiring dengan waktu, kian banyak jurnalis yang berpendapat bahwa tanggung jawab itu sama pentingnya dengan kebebasan. Ketika kepemilikan koran kian memusat ke sedikit koran, para editor dan jurnalis mulai bersuara lantang tentang perlunya koran memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Dunia film dan penyiaranpun mulai memperhatikan soal tanggung jawab sosial ini.
Yang menjadi inti permasalahan dalam pembicaraan mengenai sesuatu sistem pers adalah sistem kebebasannya. Sesuatu sistem pers itu diciptakan justru untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Konsep dasar dari sistem kebebasan pers Indonesia memperoleh landasan idiil dan konstitusional dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kita semua menyadari apa kedudukan dan fungsi Pancasila bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Di satu pihak, Pancasila merupakan cita-cita hukum, yang penafsirannya ditentukan dalam UUD 1945. Di sini Pancasila merupakan dasar negara dan juga sumber bagi segala sumber hukum. Dalam UUD 1945, Pasal 3, disebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara”. Atas dasar ketentuan konstitusional inilah MPR, sekali setiap lima tahun, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan dalam GBHN (1983) yang merupakan landasan strategis bagi pembangunan nasional, juga dicantumkan landasan strategis bagi pers, yang menentukan bentuk dan isi sistem kebebasan pers Indonesia sebagai bagian dari sistem penerangan dan media massa, atau bagian dari sistem informasi dan komunikasi.
Di pihak lain, Pancasila merupakan cita-cita moral, atau pandangan hidup yang memberi pegangan dan tuntutan bagi bangsa Indonesia. Untuk benar-benar dapat berfungsi sebagai tuntunan bagi perilaku dan peri kehidupan bangsa, maka nilai-nilai Pancasila tersebut telah dituangkan dalam pedoman, yang menjabarkan tentang bagaimana konkritnya nilai-nilai tersebut dapat dihayati dan diamalkan sebaik-baiknya. Untuk itu oleh MPR telah dikeluarkan Ketetapan (TAP) No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, atau P-4.
4. Makna, Tujuan & Fungsi Kebebasan Pers Bagi Pembangunan
Landasan konstitusional sistem pers Indonesia sebagai yang melekat pada Pasal 28 dan Pasal 33, UUD 1945, yang berjiwa kebersamaan, kekeluargaan dan gotong-royong itulah yang sebenarnya telah menelorkan “partnership theory” antara Pers dan Pemerintah, yang bertolak belakang dengan apa yang sering disebut sebagai “adversary theory” antara Pers dan Pemerintah di negeri Barat.
Partnership theory” tersebut mencerminkan jiwa kebersamaan, yang pengalamannya sudah mendarah-daging sejak tercatat tentang adanya pers nasional di Indonesia. Dengan demikian, maka teori “partnership” tersebut dalam manifestasi-nya tidak menonjolkan “pertentangan antara kebebasan dan kekuasaan, melainkan kerjasama atau musyawarah untuk kebaikan bersama masyarakat (dan) bahwa kekuasaan besar yang diberikan kepada Pemerintah dan kepada Negara jangan sampai mengakibatkan terjadinya penindasan negara atas hak-hak warganegara”.
Atas dasar teori ini pulalah dalam jaman revolusi kemerdekaan tempo hari, telah timbul istilah “grand alliance” atau “perserikatan agung” antara Pers, Pemerintah dan Masyarakat dalam memperjuangkan cita-cita bersama bangsa. Di sini perlu dicatat bahwa tradisi “grand alliance” ini sebenarnya juga telah melembaga dalam sistem pers Indonesia, dan telah pula menjiwai kehidupan pers dalam segi kelembagaan, segi idiil maupun segi pengusahaannya.
Ciri-ciri yang menonjol lainnya dalam sistem kebebasan pers Indonesia a.l. adalah sebagai berikut:
Pertama, pers khususnya suratkabar, adalah penerbitan yang setiap harinya menjual “kabar” atau “berita”. Jadi, kalau kita berbicara mengenai kebebasan pers,maka yang menjadi inti sebenarnya adalah kebebasan untuk mencari, menulis, mencetak dan menyebar-luaskan berita melalui media yang bersangkutan.
Kedua, sistem kebebasan pers Indonesia yang diabdikan untuk “memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab”, seperti tercantum dalam Pasal 2, Ayat 2-c, UU Pokok Pers No. 21 (1982). Memperjuangkan kebenaran merupakan ciri dari tata kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan ini berarti bahwa dalam usaha memperjuangkan suatu kebenaran, wajar apabila ada pendapat yang berlainan dalam masyarakat. Kritik adalah pencerminan adanya pendapat yang berlainan tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem kebebasan pers Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan filosofis yang mendasar, yang intinya mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi sebagian dari kepribadiannya sejak berabad-abad lamanya. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan pers tersebut sepenuhnya mencerminkan jiwa dan semangat daripada konsep dasar dan sekaligus juga landasan strategis dari sistem pers Indonesia sebagai terkandung dalam GBHN.
Memang, UU Pokok Pers boleh dibilang merupakan “lex spesialis” yang memberi pedoman dan aturan permainan bagi kehidupan pers nasional. Materi dan substansi keseluruhannya mencerminkan identitas pers Indonesia, yang berarti juga sekaligus mencerminkan identitas sistem kebebasan pers Indonesia.
C. Perjalanan Pers di Indonesia 1945 - 2007
Perjalanan pers di Indonesia telah mengalami proses cukup panjang dan penuh liku. Sejarah pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia, dan dapat dipecah menjadi beberapa periode.
1. 1945 – 1973: Dari Pers Perjuangan ke Pers Partisan
Pada tahun 1945, ketika Proklamasi Kemerdekaaan dan kelahiran negara Republik Indonesia, telah ada industri pers yang memperjuangkan tujuan nasional. Peristiwa pembentukan Republik Indonesia juga melahirkan beberapa surat kabar yang baru, misalnya harian Merdeka yang didirikan pada tanggal 1 Oktober 1945, hanya 44 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada zaman tersebut, surat-surat kabar dan terbitan lain, cukup bebas di bawah administrasi transisional yang mengurus penyerahan kekuasaan dari pihak Belanda ke Rupublik Indonesia. Pada tahun 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan maupun keberadaan Republik Indonesia, ada 75 terbitan yang dapat disebut ‘pers’.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, surat kabar tumbuh seperti ‘jamur di musim hujan’. Selama dasawarsa 1950, jumlah media cetak terus-menerus bertambah karena dipergunakan oleh partai-partai politik sebagai corong ideologinya. Pada tahun 1955, ketika pemilihan umum yang pertama, jumlah media cetak sampai 457 terbitan, atau enam kali lipat jumlahnya dibanding tahun 1949, dengan jumlah tiras 3.457.910 eksemplar, atau delapan kali lipat jumlah tiras pada tahun 1949. Tahun 1950an, pers Indonesia sangat ‘partisan’, atau berpihak, terutama karena ketergantungan dana dari partai-partai politik untuk kelangsungan hidupnya. Kalau jumlah terbitan pada tahun 1950an ditinjau, dapat dilihat bahwa ada peningkatan secara terus-menurus sampai 1955, yaitu tahun Pemilihan Umum, kemudian ada penurunan tajam, dan pada tahun 1959 jumlah terbitan adalah 324, atau hampir sama dengan jumlahnya pada tahun 1950.
Awal tahun 1960an, jumlah terbitan terus-menerus meningkat, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1966, sebagai cerminan keadaan politik yang semakin memanas. Pada dasawarsa itu, industri pers mengalami dua pembredelan, yang pertama pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966. Tahun 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan penerbit untuk menggabungkan diri dengan sebuah partai politik, organisasi massa atau golongan. Kebiasaan itu muncul karena keperluan pers mencari dana. Akibat Surat Keputusan tersebut, pers lebih menjadi bersifat partisan.
Setelah Peristiwa G 30 S / PKI, 43 dari 163 surat kabar yang ada ditutup oleh pemerintah. Pada tahun 1967, jumlah terbitan menurun sebanyak 132 terbitan dari tahun sebelumnya. Kekuasaan pemerintah atas pers muncul lagi melalui pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Menurut Pasal 20, selama ‘masa peralihan’, penerbit surat kabar wajib memperoleh baik Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan maupun Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap tidak ‘sah’ dan kalau satupun surat izinnya dicabut, terbitan itu dilarang terbit. ‘Masa Peralihan’ itu berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982.
Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950an serta tahun 1960an, pers di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan dana dari partai-partai politik dan golongan lain, pers pada zaman tersebut bersifat sangat partisan dan berpihak. Akibatnya, landasan pers merupakan ideologi dengan ketergantungnya pada partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan kekuasaan pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pembredelan pada tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan SIC untuk mendirikan surat kabar. Pers Perjuangan yang ada pada tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada tahun 1950an, tidak bebas lagi hingga tahun 1960an.
2. 1973 – 1990: Depolitisasi dan Komersialisasi Pers
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organsisasi terhadap pers sehingga tidak lagi mendapat dana dari partai politik. Oleh karena itu, pemimpin terbitan harus mencari dana dari periklanan. Untuk dapat menarik iklan, sebuah terbitan harus mempunyai landasan jumlah pembaca yang banyak.
Pada tahun 1974 dan tahun 1978, industri pers mengalami pembredelan lagi. Setelah kerusuhan ‘Malari’ pada bulan Januari 1974, 12 terbitan dilarang dan beberapa wartawan ditangkap dan puluhan lain didaftarhitamkan. Pada 1978, tujuh harian yang terbit di Jakarta mengalami penutupan karena liputannya yang mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Dengan pembredelan tersebut pemerintah Orde Baru mulai bersifat ‘tangan besi’ terhadap pers. Pemimpin-pemimpin pers mengakui bahwa untuk menjamin kelangsungan terbitannya, mereka harus mengalami proses penyesuaian diri dan ‘depolitisasi’, dalam arti menghilangkan unsur-unsur politik dalam berita yang dimuat, kecuali yang mendukung pemerintah Orde Baru dan kebijakannya. Dapat dilihat bahwa ‘depolitisasi’ tersebut merupakan akibat dari lepasnya pengaruh partai politik, maupun kekuasaan pemerintah.
Iklan merupakan salah satu upaya kebebasan pers Indonesia secara ekonomis. Akhirnya tahun 1970an pers di Indonesia mulai berubah bentuknya dari alat ideologis menjadi industri besar. Pada tahun 1982, SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP hampir sama dengan SIT, seperti perubahan hanya dalam sebutan saja. Namun bedanya SIUPP, lebih tegas lagi. Jika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.
Namun, sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri besar dan memperkerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan SIC kemudian SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi. Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas - Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup.
Alasan-alasan upaya diversifikasi ke bidang media tersebut bukan hanya untuk meraih profit, tetapi juga sebagai perlindungan kepentingan. Kalau SIUPP surat kabar utama, misalnya Kompas, dicabut oleh pemerintah, ada SIUPP surat kabar regional yang dimiliki Kompas - Gramedia Grup, misalnya Surya, yang kuat secara keuangan maupun keredaksian, dapat menerima karyawan surat kabar yang ditutup, dan mengambil pasarnya. Pendek kata, kalau surat kabar utamanya ditutup, masih ada surat kabar lain.
Dalam masa itu, timbullah beberapa grup besar, yang paling besar Kompas - Gramedia Grup dan Grafiti Pers Grup, yang melahir Jawa Pos Grup. Pada tahun 1990an, di antara 13 dan 16 grup mempunyai duapertiga industri pers. Pada tahun 1989, Kompas - Gramedia Grup mendirikan Bagian Pers Daerah, atau ‘Persda’. Dari pendirian bidang itu, dapat dilihat bahwa ‘pers daerah’ dianggap sebagai potensi besar.
3. 1990 – 1997: Era Repolitisasi?
Telah dicatat oleh beberapa pengamat, bahwa pada tahun 1990an, pers di Indonesia mulai ‘repolitisasi’ lagi. Maksud istilah ‘repolitisasi’ itu, bahwa pada tahun 1990an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Suharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerintah dengan muat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh maupun kebijakan Orde Baru. Namun, dapat dilihat dari kesaksian redaktur Jawa Pos, bahwa meskipun ‘repolitisasi’ tersebut memang direncanakan oleh harian Jawa Pos, wujudnyatanya tidak sampai tahun 2000. ‘Repolitisasi’ memang direncanakan di harian Jawa Pos tetapi tidak terjadi secara jelas sebelum keruntuhan Suharto dan rezimnya.
Akan tetapi, ada beberapa peristiwa pada masa itu yang memberi kesan ‘repolitisasi’. Pada tahun 1994, tiga majalah mingguan ditutup, yaitu Tempo, DeTIK dan Editor. Penutupan terbitan-terbitan tersebut menunjukkan bahwa majalah-majalah itu melanggar peraturan pemerintah karena memuat kritik terhadapnya. Namun, pencabutan SIUPP dan penutupannya membuktikan bahwa Orde Baru masih lebih kuat.
Pada tahun 1996, salah satu wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, dibunuh di Yogyakarta, dan pelakunya diduga kaki tangan pemerintah. Pada bulan-bulan sebelum pembunuhan tersebut, Faud sedang menyelidiki kasus korupsi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan menulis artikel mengenai kesimpulannya yang kemudian dimuat oleh Bernas. Penulisan dan pemuatan informasi tersebut menunjukkan bahwa pers mulai bertujuan politik lagi, atau mulai ‘repolitisasi’, seperti kasus penutupan Tempo, DeTIK dan Editor. Akan tetapi, pembunuhan Udin, demikian juga penutupan ketiga majalah tersebut, menunjukkan, untuk sementara, pihak pemerintah lebih kuat dari pada pihak pers dan informasi bebas.
Dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 – 1997, yaitu tahun-tahun sebelum reformasi, pers Indonesia tetap mengikuti tujuan-tujuan komersial dan diversifikasi. Masa 1990an merupakan waktu bagi grup-grup besar menguatkan posisinya. Ada beberapa terbitan yang memuat artikel politik, dalam arti menentang baik kebijakan maupun tokoh pemerintah seperti Bernas, Tempo, DeTIK dan Editor. Tetapi, ‘repolitisasi’ ini terbatas ke beberapa terbitan saja, dan belum menyentuh industri pers di Indonesia secara utuh.
4. 1997: Pengaruh Krisis Moneter (Krismon)
Kejadian Krisis Moneter (Krismon) melanda ekonomi Indonesia pada bulan Juli 1997. Demikian pula industri pers tidak terlepas dari dampak Krismon. Akan tetapi, bagi industri pers ada dampak positif maupun negatif.
Dampak yang negatif adalah ancaman terhadap stabilitas ekonomi pers, khususnya harga kertas koran yang membubung tinggi. Wartawan dan karyawan-karyawan lain yang dipekerjakan oleh perusahaan pers juga mengalami kesulitan, misalnya potong gaji atau diberhentikan. Sebagai tanggapan terhadap krismon, kebanyakan surat kabar mengurangi jumlah halaman, misalnya Jawa Pos mengurangi jumlah halamannya dari 28 halaman menjadi 16 halaman serta memperkecil ukurannya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Seluruh surat kabar yang terbit di Surabaya, baik yang kecil maupun yang beroplah besar, mengurangi jumlah halamannya dan beberapa surat kabar juga mengurangi masa terbitnya. Misalnya surat kabar Karya Darma yang sebelum Krismon terbit enam edisi seminggu, dikurangi hanya terbit lima edisi seminggu.
Namun, pengaruh negatif tersebut berkurang dengan suasana demokratis dan tuntutan berita serta informasi. Dengan kejadian Krismon, industri pers di Indonesia tidak kehilangan mata uangnya, yaitu peristiwa dan berita.
5. 1998: Reformasi dan Kebebasan Pers
Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti “sebuah pesta”.
Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman”.
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.
Longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas – Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) PROGRAM KEAHLIAN FARMASI KLINIS DAN KOMUNITAS

  LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) PROGRAM KEAHLIAN FARMASI KLINIS DAN KOMUNITAS SMK  APOTEK QIRANI FARMA (Waktu Pelaksanaan: ...