PADA umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”. Ada juga yang menyebut berasal dari kata Cura Bhaya atau Curabhaya.
Penulisan nama Surabaya pun berubah ejaannya sesuai dengan zaman pemakaiannya. Sebelum ditulis dengan kata Surabaya sekarang ini, pernah pula ditulis: Surabaia, Soerabaia, Seoarabaja dan Surabaja.
Berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai, Sura (Suro) dan Baya (Boyo), menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).
Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, agama, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat. Surabaya memperingati hari jadinya tiap tanggal 31 Mei. Tahun 2010 ini usianya sudah 717 tahun, dengan tanggal kelahiran ditetapkan 31 Mei 1293.
Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).
Dalam sejarah, nama Surabaya terdapat pada buku: Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun. Jenggala adalah Sidoarjo dan Buwun adalah Bawean
SURAPRINGGA
Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Tetapi, dalam sejarah pemerintahan regent atau kebupatian (kabupaten) serta keadipatian (kepatihan) Surabaya disebut Surapringga.
Dari berbagai sumber, terungkap salah satu kepala pemerintahan yang cukup melegenada adalah Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.
Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh.
Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14. Kemudian mengapa nama Surapringga tidak begitu popular.
Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN. Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”.
Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).
Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.
Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.
Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.
Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jl Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.
Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.
Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Memang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.
Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.
Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya).
Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.
Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.
Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.
JUNG YA LU dan SUYALU
Kendati sudah diyakini bahwa Junggaluh atau Hujunggaluh atau Ujunggaluh adalah cikal-bakal Kota Surabaya, ternyata tentang lokasinya pernah menjadi perdebatan. Peristiwa itu terjadi waktu pembahasan penetapan perubahan Hari Jadi Kota Surabaya pada tahun 1975.
Pembahasan mengenai lokasinya diperoleh dari beberapa pendapat. Prof.Dr.N.J.Krom, sebagai salah satu sumber misalnya menyitir nama Junggaluh dari sejarah Tiongkok. Pendapat ini diperkuat pula oleh Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Nama Junggaluh itu disebutkan dalam ejaan Cina tertulis, kata Sugalu. Kata Sugalu itu menurut mereka harus dibaca Jung Ya Lu. Nah, dengan demikian maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.
Inilah, masalahnya. Sebab, ada pula ahli sejarah yang menerjemahkan kata Sugalu itu sebagai Sedayu, yaitu suatu nama desa di Kabupaten Gresik sekarang.
Pendapat Prof Dr. Suwoyo Woyowasito lain lagi. Menurut guru besar ini, tidak menyebut Sugalu, tetapi Suyalu. Dengan dasar perkembangan bunyi, telah dapat membuktikan bahwa Suyalu adalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Junggaluh atau Hujunggaluh.
Suatu data lagi mengungkapkan, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang semula mendarat di Tuban. Setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit). Ke tiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lu tersebut tentunya melalui sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto.
Kenyataan ini membuktikan, bahwa sungai yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan bahwa Su-ya-lu terdapat di pantai dan muara Kali Brantas. Ini juga sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari buku Chu-fan-Chi-kua (1220 AD). Pada buku itu dinyatakan bahwa Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya.
Maka dengan demikian, para anggota Panitia Khusus (Pansus) Penetapan Hari Jadi Surabaya yang kemudian didukung oleh pleno DPRD Kota Surabaya tahun 1975 itu, sependapat bahwa: “Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya dan tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi sungai Bengawan Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah, Gresik.”
Tidak hanya itu, fakta ini juga diperkuat lagi berdasarkan kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”.
Artinya: “Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) dan para lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah.” – Tegal Bobot Sekar atau Tegal Bobot Sari, sekarang menjadi Kecamatan Tegalsari di Kota Surabaya. Begitulah sedikit kisah tentang nama Surabaya yang dikaitkan dengan Junggaluh atau Hujunggaluh.
Jumat, 04 Februari 2011
MANIK ANGKERAN
ASAL MULA SELAT BALI
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
LEGENDA KISAH SEEKOR IKAN LELE
Terjadinya Kali Taun di Desa Karanggambas Purbalingga
Ana ing salah sijining dina desa kang panggone ora adoh saka gunung Slamet, duweni keunikan alam. Keunikan kasebut yaiku anane kali ing Desa Karanggambas, kang mili suwene setaun lan asat suwene pada setaun. Miturut critane saka atusan taun kapungkur, sesepuh desa kasebut jenenge Eyang Sarantaka. Eyang Sarantaka duweni sifat kang luhur, sabar, tulung tinulung lan ramah. Eyang Sarantaka diajeni kabeh penduduk desa kasebut, amerga kepinterane, akeh wong kang pada njaluk tamba, njaluk petunjuk urip lan liya-liyane. Kabeh wong diajari tata cara kang apik lan bener miturut agama Allah.
Ana ing sawijineng dina, ing wayah ketiga wong-wong ing Desa Karanggambas kekurangan banyu, amerga kali kabeh pada asat, wong-wong pada bingung, luwih-luwih ana ing daerah lor karo daerah tengah. Kabeh kali sing ana ing daerah wetan pada asat, wektu kuwi kabeh wong kelingan karo sesepuh Eyang Sarantaka wong-wong kuwi sepakat njaluk pitulungane. “ Lha kepriwe kiye kaline pada asat kabeh” tutur warga sing pertama weruh yen kaline ora ana banyune. Banjur ana warga ing mangsuli “lha mbuh nyong ya bingung”.
Warga pada ngersulah kabeh amarga ora ana banyu, kabeh kali nang daerah kana pada asat. Ora ganti suwe ana warga sing ngusulake nemoni Eyang Sarantaka.amarga Eyang Sarantaka kuwi salah sijine sesepuh ing desa kana.
“‘ Eh, kabeh warga Karanggambas rungokna. Kepriwe carane ben kali nang kene ana banyune maning kaya maune. Mayuh dewek pada nemoni Eyang Sarantaka bae, priwen?”
‘‘ Ya…ya… dewek pada njaluk tulung karo Eyang Sarantaka”.
Para warga pada setuju banjur pada mangkat marang omahe Eyang Sarantaka. Kabeh warga nemoni Eyang Sarantaka ngomong supaya desa ora kekurangan banyu maneh. Banjur wi tekan nang omahe Eyang Sarantaka para warga langsung pada ngomong apa sing dikarepna.
“ nyuwun ngapunten Eyang, sedaya lepen wonten daerah ler kaliyan tengah asat babar blas boten wonten toyane. Kula para warga badhe nyuwun tulung supados Eyang ingkang ngrampungake masalah menika”.
Banjur Eyang mangsuli “ ya, sabar Nyong tak semedi disit, njaluk petunjuk marang sing gawe urip. Muga-muga et diwenehi wangsit”.
“ nggih mbah, maturnuwun”. para warga mangsuli pituture Enyang.
Eyang Sarantaka akhire emedi njaluk petunjuk karo sang Pencipta. Ara let suwe desa mau maleh dadi tentrem, banjur Eyang Sarantaka entok wangsit sing bisa gawe desa kuwi ora kekeringan yaiku tongkat sakti. Banjur kabeh warga diajak menyang pusat desa Karanggambas banjur kabeh warga diajak sembayang sak wise sembayang Eyang Sarantaka nancep ake tongkat ing lemah, sakwise tongkat di jabut langsung metu banyu sing akeh banget lan mili menyang kali sing asat mau. Sak wise banyu kuwi mau wis metu para warga banjur berterimakasih karo Eyang Sarantaka. Sakwise ana banyu warga urung puas iseh njaluk iwak-iwak kang mili ana ing aliran banyu kuwi. Banjur kabeh warga nemoni Eyang Sarantaka.” Eyang kula sedaya badhe nyuwun supados lepen menika dipunparingi ulam ingkang kathah. Supados warga saged ngraosaken toya lan ulam wonten lepen menika”.
Eyang Sarantaka mangsuli yen sanggup mujudake kapengene warga. “ya, muga-muga gusti Allah ngbulake apa sing dikarepake kowe-kowe pada”.
Sakwise ditemoni warga,wayah bengi anggoro kasih Eyang nemoni jin penunggu Gua Belis ana ing kali Ponggawa. Jarene jin kuwi kang nguasai iwak sing jumlahe akeh nang daerah gua kuwi. Sakwise ngomong kekarepane,Eyang diwenehi kabeh iwak lele kang ana ing gua kuwi.malah raja lele sing nduweni jeneng Truna Lele ya melu diwenehna.
Bengi anggara kasih kuwi.ujug-ujug ana keanehan, ana warga sing weruh ewunan iwak lele kang lagi ngliwati dalan nang kali sing anyar. Wayah isuk warga sing bengine ngerti keanehan kuwi nycritakake marang warga liyane.berita kuwi langsung nyebar nangendi-ngendi,lan warga pada teka rame-rame nonton ewonan iwak lele. Akeh warga sing pada mincing,rebutan iwak nganti pada padu,gelutan, amerga wargane ora ana sing gelem ngalah.warga pada seneng goleki iwak nganti raja lele iso kecekel nang bocah cilik lan digawa balik. Saking senenge bocah kuwi crita karo kanca-kancane lan ngajak kanca-kancane kuwi nonton iwak lele. Anehe iwak kuwi yaiku wujude ndas lele nanging awake ora ana daginge amung aken rine. Bengine Trun lele kuwi lunga saka priuk kanggo wadah lele kuwi mau.banjur lunga menyang kali lan ngajak kanca-kancane bali menyang Kedung Belis asal panggone iwak lele mau.
Isuke para warga pada geger amerga iwake wis pada ilang kabeh, banjur para warga pada lapor karo Eyang Sarantaka. Kenapa iwak-iwak kuwi pada ilang banjur njaluk dibaleke maneh kaya maune,eyang Sarantaka nyanggupi lan ora ganti suwi kali kuwi dadi esat maneh banjur teka sekelompok putri. Para warga kaget lan pada meneng kabeh.
Eyang Sarantaka ngendika yen para warga ora pernah ngrasa puas,aja nganti Gusti Allah murka lan ngudunake kutukan.” Para warga karanggambas aja sepisan-pisan kowe pada murka,ora puas karo kahanan sing ana,aja nganti Gusti Allah murka karo kowe-kowe padha”.
Muga-muga Allah ngabulake apa sing dikarepke warga yaiku kali kuwi mili banyune saksuwene setaun sepisan lan asat setaun sepisan lan sakteruse. Banjur kali kuwi dijnengi Kali Taun. Ora ganti suwe Eyang Sarantaka seda lan disarekake ana ing cedhak umahe sing saiki dadi pesarehan Desa Karanggambas, Kec. Padamara lan anehe maneh kadang-kadang ana iwak lele nang pesarehan kuwi, nyatane nang kana ora ana kali.Iwak lele mau pada seneng amarga desa kuwi kena kutukan amarga sifate para warga sing ora puas karo kahanan sing sak benere, kudune warga bisa nampa kahanan apanane. Mensyukuri apa sing diparingi Gusti Allah .
Ana ing salah sijining dina desa kang panggone ora adoh saka gunung Slamet, duweni keunikan alam. Keunikan kasebut yaiku anane kali ing Desa Karanggambas, kang mili suwene setaun lan asat suwene pada setaun. Miturut critane saka atusan taun kapungkur, sesepuh desa kasebut jenenge Eyang Sarantaka. Eyang Sarantaka duweni sifat kang luhur, sabar, tulung tinulung lan ramah. Eyang Sarantaka diajeni kabeh penduduk desa kasebut, amerga kepinterane, akeh wong kang pada njaluk tamba, njaluk petunjuk urip lan liya-liyane. Kabeh wong diajari tata cara kang apik lan bener miturut agama Allah.
Ana ing sawijineng dina, ing wayah ketiga wong-wong ing Desa Karanggambas kekurangan banyu, amerga kali kabeh pada asat, wong-wong pada bingung, luwih-luwih ana ing daerah lor karo daerah tengah. Kabeh kali sing ana ing daerah wetan pada asat, wektu kuwi kabeh wong kelingan karo sesepuh Eyang Sarantaka wong-wong kuwi sepakat njaluk pitulungane. “ Lha kepriwe kiye kaline pada asat kabeh” tutur warga sing pertama weruh yen kaline ora ana banyune. Banjur ana warga ing mangsuli “lha mbuh nyong ya bingung”.
Warga pada ngersulah kabeh amarga ora ana banyu, kabeh kali nang daerah kana pada asat. Ora ganti suwe ana warga sing ngusulake nemoni Eyang Sarantaka.amarga Eyang Sarantaka kuwi salah sijine sesepuh ing desa kana.
“‘ Eh, kabeh warga Karanggambas rungokna. Kepriwe carane ben kali nang kene ana banyune maning kaya maune. Mayuh dewek pada nemoni Eyang Sarantaka bae, priwen?”
‘‘ Ya…ya… dewek pada njaluk tulung karo Eyang Sarantaka”.
Para warga pada setuju banjur pada mangkat marang omahe Eyang Sarantaka. Kabeh warga nemoni Eyang Sarantaka ngomong supaya desa ora kekurangan banyu maneh. Banjur wi tekan nang omahe Eyang Sarantaka para warga langsung pada ngomong apa sing dikarepna.
“ nyuwun ngapunten Eyang, sedaya lepen wonten daerah ler kaliyan tengah asat babar blas boten wonten toyane. Kula para warga badhe nyuwun tulung supados Eyang ingkang ngrampungake masalah menika”.
Banjur Eyang mangsuli “ ya, sabar Nyong tak semedi disit, njaluk petunjuk marang sing gawe urip. Muga-muga et diwenehi wangsit”.
“ nggih mbah, maturnuwun”. para warga mangsuli pituture Enyang.
Eyang Sarantaka akhire emedi njaluk petunjuk karo sang Pencipta. Ara let suwe desa mau maleh dadi tentrem, banjur Eyang Sarantaka entok wangsit sing bisa gawe desa kuwi ora kekeringan yaiku tongkat sakti. Banjur kabeh warga diajak menyang pusat desa Karanggambas banjur kabeh warga diajak sembayang sak wise sembayang Eyang Sarantaka nancep ake tongkat ing lemah, sakwise tongkat di jabut langsung metu banyu sing akeh banget lan mili menyang kali sing asat mau. Sak wise banyu kuwi mau wis metu para warga banjur berterimakasih karo Eyang Sarantaka. Sakwise ana banyu warga urung puas iseh njaluk iwak-iwak kang mili ana ing aliran banyu kuwi. Banjur kabeh warga nemoni Eyang Sarantaka.” Eyang kula sedaya badhe nyuwun supados lepen menika dipunparingi ulam ingkang kathah. Supados warga saged ngraosaken toya lan ulam wonten lepen menika”.
Eyang Sarantaka mangsuli yen sanggup mujudake kapengene warga. “ya, muga-muga gusti Allah ngbulake apa sing dikarepake kowe-kowe pada”.
Sakwise ditemoni warga,wayah bengi anggoro kasih Eyang nemoni jin penunggu Gua Belis ana ing kali Ponggawa. Jarene jin kuwi kang nguasai iwak sing jumlahe akeh nang daerah gua kuwi. Sakwise ngomong kekarepane,Eyang diwenehi kabeh iwak lele kang ana ing gua kuwi.malah raja lele sing nduweni jeneng Truna Lele ya melu diwenehna.
Bengi anggara kasih kuwi.ujug-ujug ana keanehan, ana warga sing weruh ewunan iwak lele kang lagi ngliwati dalan nang kali sing anyar. Wayah isuk warga sing bengine ngerti keanehan kuwi nycritakake marang warga liyane.berita kuwi langsung nyebar nangendi-ngendi,lan warga pada teka rame-rame nonton ewonan iwak lele. Akeh warga sing pada mincing,rebutan iwak nganti pada padu,gelutan, amerga wargane ora ana sing gelem ngalah.warga pada seneng goleki iwak nganti raja lele iso kecekel nang bocah cilik lan digawa balik. Saking senenge bocah kuwi crita karo kanca-kancane lan ngajak kanca-kancane kuwi nonton iwak lele. Anehe iwak kuwi yaiku wujude ndas lele nanging awake ora ana daginge amung aken rine. Bengine Trun lele kuwi lunga saka priuk kanggo wadah lele kuwi mau.banjur lunga menyang kali lan ngajak kanca-kancane bali menyang Kedung Belis asal panggone iwak lele mau.
Isuke para warga pada geger amerga iwake wis pada ilang kabeh, banjur para warga pada lapor karo Eyang Sarantaka. Kenapa iwak-iwak kuwi pada ilang banjur njaluk dibaleke maneh kaya maune,eyang Sarantaka nyanggupi lan ora ganti suwi kali kuwi dadi esat maneh banjur teka sekelompok putri. Para warga kaget lan pada meneng kabeh.
Eyang Sarantaka ngendika yen para warga ora pernah ngrasa puas,aja nganti Gusti Allah murka lan ngudunake kutukan.” Para warga karanggambas aja sepisan-pisan kowe pada murka,ora puas karo kahanan sing ana,aja nganti Gusti Allah murka karo kowe-kowe padha”.
Muga-muga Allah ngabulake apa sing dikarepke warga yaiku kali kuwi mili banyune saksuwene setaun sepisan lan asat setaun sepisan lan sakteruse. Banjur kali kuwi dijnengi Kali Taun. Ora ganti suwe Eyang Sarantaka seda lan disarekake ana ing cedhak umahe sing saiki dadi pesarehan Desa Karanggambas, Kec. Padamara lan anehe maneh kadang-kadang ana iwak lele nang pesarehan kuwi, nyatane nang kana ora ana kali.Iwak lele mau pada seneng amarga desa kuwi kena kutukan amarga sifate para warga sing ora puas karo kahanan sing sak benere, kudune warga bisa nampa kahanan apanane. Mensyukuri apa sing diparingi Gusti Allah .
“LEGENDA CEMPAKA WULUNG”
Ing babad Pekalongan, Dewi Rantamsari yaiku anake salah siji demang ing kademangan Kalisalak. Kang critane Raden Joko Bahu diprentah utawa diutus dening Sri Sultan Agung Hanyokro Kusuma nglamar Dewi Rantamsari. Nalika R. Joko Bahu teka ing Kalisalak, Dewi Rantamsari banjur kepincut karo pawakan enom utusan saka mataram kuwi. Kabukten saka polahe kang kaya wong ketemu ksatriya.
Bareng wis kenal karo Demang Kalisalak, Nyai demang lan Dewi Rantamsari. R. Joko Bahu njlentrehake yen dheweke lagi entuk titah saka sang Sultan. Yen ing kademangan Kalisalak ana kembang kang lagi mekar lan wangi, ambune tekan Mataram. Sri Sultan kepengin nggarwa kembang kuwi.
Krungu kaya kuwi, Sang Demang ngrasa bungah. Sanajan mung anak demang, nanging wis ana tanda kamulyaan amarga arep dirabi dening Sri Sultan.
Krungu jawaban kuwi, banjur R. Joko Bahu langsung takon kang nduweni maksud mboyong Dewi Rantamsari menyang Mataram kanggo disunting Sri Sultan. Banjur dijawab langsung dening Dewi Rantamsari, “sapa wae wonge, ora sugih, ora mlarat, raja utawa prajurit, kang bisa njupuk kembang Cempaka ing taman Kalisalak, wong kuwi sing arep dadi bojoku.” Ora mikir dhisik, mung eling karo titahe Sri Sultan sing kudu klakon, banjur R. Joko Bahu nyanggupi. Akhire karo disekseni kabeh wong sing ning kana, R. Joko Bahu tunuju menyang taman Kalisalak. Satekane ing taman, R. Joko Bahu bingung amarga ora weruh wit Cempaka kang lagi kembang. Banjur takon karo Dewi Rntamsari ning ngendi manggone kembang kuwi. Dewi Rantamsari banjur nudhuhke yen kembang Cempaka sing arep dipek kuwi ana ing sanggule sang Dewi. Dewi Rantamsari ngijinake R. Joko Bahu njupuk kembang kuwi. Karo bingung, banjur R. JokoBahu njupuk kembang sing ana ing sanggule sang Dewi kanthi tangan kang nrdedheg. Bubar kedadeyan kuwi, banjur sang Dewi sujud ing sikile R. Joko Bahu. Nanging R Jaka Bahu ngira yen Dewi Rantamsari lemes, ora duwe tenaga. Banjur Dewi Rantamsari dituntun ngadeg maneh. Nanging sang Dewi isih katon sumingrah.
Amarga R. Joko Bahu kang njupuk kembang Cempaka ing taman Kalisalak, banjur wis sepantese yen R. Joko Bahu dadi bojone Dewi Rantamsari. R. Joko Bahu meneng sakwetara, ambegane seseg, pikirane werna-werna kelingan titahe Sri Sultan yen wis ana asile kudu cepet bali menyang Mataram. Nanging nyatane R. Joko Bahu karo Dewi Rantamsari sing menangake sayembara kuwi. Kanthi kikuk karo watuk-watuk cilik, wong loro kuwi njawab yen siap ngadepi kanyatan kuwi. Nanging kepriye karo titahe sang Sultan. Weruh wong loro kang wis kaiket tresna, Demang aweh dalan supaya kabeh bisa mlaku kanthi lancar. dijelasake yen ing jejere kademangan iki ana anak mas kang rupane mirip banget karo Dewi Rantamsari jenenge Randinem anake bakul srabi. Demang ngutus nemoni Radinem ing Kaligeluk. Bubar R. Joko Bahu karo Dewi Rantamsari , R. Joko Bahu sak rombongan pamitan karo Ki Demang arep nemoni Randinem ing Kaligeluk, kang sadurunge wis pesen mengko yen anake kang dikandut Dewi Rantamsari lair, supaya diwenehi jeneng R. Kuncung Darmanto yen lanang, nanging yen wadon sakarepe arep dijenengi sapa. Banjur R. Joko Bahu Purnakawan Hedho lan Gati budhal meyang Kaligeluk.
Akhire Dewi Rantamsari ditinggal bojone kang lagi ngemban tugas saka kraton, ora let suwe sang Dewi nglairake bayi lanang kang bagus rupane. Banjur diwenehi jeneng R. Kuncung Darmanto. Putrane dimong kanthi apik, tingkah lakune persis kaya bapake. ndelengake putrane kang sempurna, Dewi Rantamsari kepengin anake yen suk gedhe bisa migunani tumprap bangsa lan negarane. Senajan isih pelo ngomonge, nanging bocah kuwi banget pintere. Ibune nganti bingung nalika ditakoni R. Kuncung Darmanto, “ngapa kanca-kancane karo wong tuwa lanang ana sing diundang bapak.” Banjur Dewi Rantamsari njelasake yen bapake kuwi putra Mataram, lair saka ibu sing jenenge Dewi Cempaka Wulan, bojone Ki Gedhe Kesesi sing jenenge Den Mas Agung. Kang seda amarga kena eri baya putih, ing wektu kuwi Dewi Cempaka Wulan lagi meteng banjur nglairake putrane sing jenenge R. Joko Bahu ing kerajaan Mataram. Banjur dening Ki Gedhe Cempluk lan Ki Gedhe Cepeluk dititipake karo lurah Kesesi Bandung kang kawentar kanthi jeneng lurah buntal amarga ing ilate ana warna ireng. Dimong tekan gedhe banjur akhire nakonake ibu karo bapak kang sebenere. Dijelasake dening lurah buntal kasebut, yen ibune kuwi permaesuri saka Sultan Agung Hanyokro Kusuma, nanging ora dijelasake yen bapake kang sebenere kuwi Raden Mas Agung sing terkenal kanthi jeneng Ki Gedhe Kesesi kuwi putra saka Sultan Sayidin Panoto Gama utawa Panembahan Senopati.
Bareng wis kenal karo Demang Kalisalak, Nyai demang lan Dewi Rantamsari. R. Joko Bahu njlentrehake yen dheweke lagi entuk titah saka sang Sultan. Yen ing kademangan Kalisalak ana kembang kang lagi mekar lan wangi, ambune tekan Mataram. Sri Sultan kepengin nggarwa kembang kuwi.
Krungu kaya kuwi, Sang Demang ngrasa bungah. Sanajan mung anak demang, nanging wis ana tanda kamulyaan amarga arep dirabi dening Sri Sultan.
Krungu jawaban kuwi, banjur R. Joko Bahu langsung takon kang nduweni maksud mboyong Dewi Rantamsari menyang Mataram kanggo disunting Sri Sultan. Banjur dijawab langsung dening Dewi Rantamsari, “sapa wae wonge, ora sugih, ora mlarat, raja utawa prajurit, kang bisa njupuk kembang Cempaka ing taman Kalisalak, wong kuwi sing arep dadi bojoku.” Ora mikir dhisik, mung eling karo titahe Sri Sultan sing kudu klakon, banjur R. Joko Bahu nyanggupi. Akhire karo disekseni kabeh wong sing ning kana, R. Joko Bahu tunuju menyang taman Kalisalak. Satekane ing taman, R. Joko Bahu bingung amarga ora weruh wit Cempaka kang lagi kembang. Banjur takon karo Dewi Rntamsari ning ngendi manggone kembang kuwi. Dewi Rantamsari banjur nudhuhke yen kembang Cempaka sing arep dipek kuwi ana ing sanggule sang Dewi. Dewi Rantamsari ngijinake R. Joko Bahu njupuk kembang kuwi. Karo bingung, banjur R. JokoBahu njupuk kembang sing ana ing sanggule sang Dewi kanthi tangan kang nrdedheg. Bubar kedadeyan kuwi, banjur sang Dewi sujud ing sikile R. Joko Bahu. Nanging R Jaka Bahu ngira yen Dewi Rantamsari lemes, ora duwe tenaga. Banjur Dewi Rantamsari dituntun ngadeg maneh. Nanging sang Dewi isih katon sumingrah.
Amarga R. Joko Bahu kang njupuk kembang Cempaka ing taman Kalisalak, banjur wis sepantese yen R. Joko Bahu dadi bojone Dewi Rantamsari. R. Joko Bahu meneng sakwetara, ambegane seseg, pikirane werna-werna kelingan titahe Sri Sultan yen wis ana asile kudu cepet bali menyang Mataram. Nanging nyatane R. Joko Bahu karo Dewi Rantamsari sing menangake sayembara kuwi. Kanthi kikuk karo watuk-watuk cilik, wong loro kuwi njawab yen siap ngadepi kanyatan kuwi. Nanging kepriye karo titahe sang Sultan. Weruh wong loro kang wis kaiket tresna, Demang aweh dalan supaya kabeh bisa mlaku kanthi lancar. dijelasake yen ing jejere kademangan iki ana anak mas kang rupane mirip banget karo Dewi Rantamsari jenenge Randinem anake bakul srabi. Demang ngutus nemoni Radinem ing Kaligeluk. Bubar R. Joko Bahu karo Dewi Rantamsari , R. Joko Bahu sak rombongan pamitan karo Ki Demang arep nemoni Randinem ing Kaligeluk, kang sadurunge wis pesen mengko yen anake kang dikandut Dewi Rantamsari lair, supaya diwenehi jeneng R. Kuncung Darmanto yen lanang, nanging yen wadon sakarepe arep dijenengi sapa. Banjur R. Joko Bahu Purnakawan Hedho lan Gati budhal meyang Kaligeluk.
Akhire Dewi Rantamsari ditinggal bojone kang lagi ngemban tugas saka kraton, ora let suwe sang Dewi nglairake bayi lanang kang bagus rupane. Banjur diwenehi jeneng R. Kuncung Darmanto. Putrane dimong kanthi apik, tingkah lakune persis kaya bapake. ndelengake putrane kang sempurna, Dewi Rantamsari kepengin anake yen suk gedhe bisa migunani tumprap bangsa lan negarane. Senajan isih pelo ngomonge, nanging bocah kuwi banget pintere. Ibune nganti bingung nalika ditakoni R. Kuncung Darmanto, “ngapa kanca-kancane karo wong tuwa lanang ana sing diundang bapak.” Banjur Dewi Rantamsari njelasake yen bapake kuwi putra Mataram, lair saka ibu sing jenenge Dewi Cempaka Wulan, bojone Ki Gedhe Kesesi sing jenenge Den Mas Agung. Kang seda amarga kena eri baya putih, ing wektu kuwi Dewi Cempaka Wulan lagi meteng banjur nglairake putrane sing jenenge R. Joko Bahu ing kerajaan Mataram. Banjur dening Ki Gedhe Cempluk lan Ki Gedhe Cepeluk dititipake karo lurah Kesesi Bandung kang kawentar kanthi jeneng lurah buntal amarga ing ilate ana warna ireng. Dimong tekan gedhe banjur akhire nakonake ibu karo bapak kang sebenere. Dijelasake dening lurah buntal kasebut, yen ibune kuwi permaesuri saka Sultan Agung Hanyokro Kusuma, nanging ora dijelasake yen bapake kang sebenere kuwi Raden Mas Agung sing terkenal kanthi jeneng Ki Gedhe Kesesi kuwi putra saka Sultan Sayidin Panoto Gama utawa Panembahan Senopati.
KUTHA JEPARA
Kutha Jepara menika saking tembung Jugmara (Ujung Muara) lan dipungantos dados Jepara, wonten maleh ingkang nyebat Ujung Para. Wiwit abad XVI wilayah menika sampun dipunsumerepi tiyang kathah mawi asma kutha Bandar.
Miturut Tom Pires panyerat Suma Oriental, Jepara nate dados pelabuhan militer, kinten-kinten taun 1470 M. Jepara nembe dipunanggeni 90-100 tiyang kang dipunpimpin Aryo Timur. Mawi patraman lan kauletan Aryo Timur saged ngubah Jepara dados Kutha Bandar ingkang ageng. Taun 1570 Aryo Timur dipungantos putranipun ingkang asma Pati Unus kang tasih timur (17 taun).
Pangarsanipun beliau, Jepara ngembangaken armadha perang lan ugi nggantos papan menika dados armada niaga ingkang endah lan ageng sanget. Pati Unus ugi ngirim armadha perang datheng Palembang kangge nyerang Portugis ingkang nguwasani Malaka (1513). Menika kang dipungayuhaken dening Pati Unus boten kaleksanan, inggih menika kalah. Pramila dipungantos sedherekipun kang asma Fatahilah (1513-1536). Jepara nate mbiyantu Fatahilah nalikane ngrebut Banten lan Sunda Kelapa. Nalika Sultan Trenggono dados pangarsa ing kedhaton Demak Bintoro wonten ing rerebutan pangarsa menika Hadirin ingkang garwanipun Retno Kencono seda dipunpejahi dening Aryo Penangsang.
Keraosanipun Retno Kencono boten penggalih, saengga tapa ing bukit Danaraja. Retno Kencono ngumbar janji bilih Aryo Penangsang dereng seda boten ngrampungi anggenipun tapa. Gegayuhanipun kalaksanan nalikane Sutawijaya saged mejahi Aryo Penangsang kaliyan Tombak Kyai Plered. Retno Kencono mandap saking anggenipun tapa lan dipun dadosaken adipati Jepara kanthi gelar Kalinyamat wonten ing 12 Robiul Awal 956 Hijriyah utawi 10 april 1549 M, dipun tandhai kaliyan Canra Sengkala “Trus Karya Tataning Bumi”, saengga wiwit menika dados adidhasar panetapipun dinten dadosipun kutha Jepara.
Pangarsanipun Kalinyamat, Jepara dados adipati ngantos 30 taun luwih. Seni ukir wiwit ngrembaka ing kutha menika katingal saking ornamen Masjid Mantingan papan panggenan Pangeran Hadirin dipunmakamaken.
Kalinyamat dipun gantos putranipun ingkang asma Pangeran Jepara (1579-1599). Ing pungkasan abad XVI kadipaten Jepara dipunserang bala tentara kerajaan Mataram. Saksampunipun peperangan boten wonten penguasa utawi pangarsa. Nalikane Jepang ing Indonesia, jabatan bupati dipun astha dhening RAA Soemitro Koesoemo Oetoyo ngantos Desember 1949, ngantos sakmenika sampun wonten 13 bupati ingkang mimpin Jepara, kalebet Drs. H. Hendro Martojo, MM.
Miturut Tom Pires panyerat Suma Oriental, Jepara nate dados pelabuhan militer, kinten-kinten taun 1470 M. Jepara nembe dipunanggeni 90-100 tiyang kang dipunpimpin Aryo Timur. Mawi patraman lan kauletan Aryo Timur saged ngubah Jepara dados Kutha Bandar ingkang ageng. Taun 1570 Aryo Timur dipungantos putranipun ingkang asma Pati Unus kang tasih timur (17 taun).
Pangarsanipun beliau, Jepara ngembangaken armadha perang lan ugi nggantos papan menika dados armada niaga ingkang endah lan ageng sanget. Pati Unus ugi ngirim armadha perang datheng Palembang kangge nyerang Portugis ingkang nguwasani Malaka (1513). Menika kang dipungayuhaken dening Pati Unus boten kaleksanan, inggih menika kalah. Pramila dipungantos sedherekipun kang asma Fatahilah (1513-1536). Jepara nate mbiyantu Fatahilah nalikane ngrebut Banten lan Sunda Kelapa. Nalika Sultan Trenggono dados pangarsa ing kedhaton Demak Bintoro wonten ing rerebutan pangarsa menika Hadirin ingkang garwanipun Retno Kencono seda dipunpejahi dening Aryo Penangsang.
Keraosanipun Retno Kencono boten penggalih, saengga tapa ing bukit Danaraja. Retno Kencono ngumbar janji bilih Aryo Penangsang dereng seda boten ngrampungi anggenipun tapa. Gegayuhanipun kalaksanan nalikane Sutawijaya saged mejahi Aryo Penangsang kaliyan Tombak Kyai Plered. Retno Kencono mandap saking anggenipun tapa lan dipun dadosaken adipati Jepara kanthi gelar Kalinyamat wonten ing 12 Robiul Awal 956 Hijriyah utawi 10 april 1549 M, dipun tandhai kaliyan Canra Sengkala “Trus Karya Tataning Bumi”, saengga wiwit menika dados adidhasar panetapipun dinten dadosipun kutha Jepara.
Pangarsanipun Kalinyamat, Jepara dados adipati ngantos 30 taun luwih. Seni ukir wiwit ngrembaka ing kutha menika katingal saking ornamen Masjid Mantingan papan panggenan Pangeran Hadirin dipunmakamaken.
Kalinyamat dipun gantos putranipun ingkang asma Pangeran Jepara (1579-1599). Ing pungkasan abad XVI kadipaten Jepara dipunserang bala tentara kerajaan Mataram. Saksampunipun peperangan boten wonten penguasa utawi pangarsa. Nalikane Jepang ing Indonesia, jabatan bupati dipun astha dhening RAA Soemitro Koesoemo Oetoyo ngantos Desember 1949, ngantos sakmenika sampun wonten 13 bupati ingkang mimpin Jepara, kalebet Drs. H. Hendro Martojo, MM.
KI AGENG PENJAWI
Ki Ageng Penjawi karo Pemanahan lan Jurumertani nalika isih nom tau dadi muride Ki Ageng Sela. Wong telu kuwi diarani telung serangkai, sing isih keturunane raja Brawijaya V utawa Prabu Kertabumi sing nduwe tahta nalika taun 1468-1478.
Silsilah Ki Ageng Penjawi yaiku: Raja Brawijaya V duwe anak raden Bondan Kejawan. Raden Bondan Kejawan duwe anak telu, sing kari jenenge Rara Kasihan lan dadi bojone Ki Ageng Ngerang. Pasangan iki nduwe anak yaiku Ki Ageng Ngerang II lan anak wadon sing dipek bojo Ki Ageng Sela. Ki ageng Ngerang II duwe anak papat yaiku ki Ageng Ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V lan Pangeran Kalijenar. Ki Ageng Ngerang III duwe anak jenenge Penjawi.
Silsilah Ki Ageng Pemanahan yaiku : anake Raden Bondan Kejawan sing nomer loro jenenge Ki ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Pandawa nduwe anak Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela duwe anak Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis nduwe anak sing diwenehi jeneng Pemanahan.
Silsilah Ki Jurumertani yaiku: anake Raden Bondan Kejawan sing paling tuwa yaiku Ki Ageng Wanasaba. Ki Ageng Wanasaba nduwe anak Pangeran Made Pandan I. Pangeran Made Pandan I duwe anak Ki Ageng Pakringan sing bojone jenenge rara Janten. Saka pasangan iki nduwe anak papat yaiku Nyai Ageng laweh, Nyai Manggar, Putri, lan Jurumertani.
Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, lan Ki Jurumertani sing isih keturunane Raja Brawijaya kuwi oleh tugas gedhe yaiku melu ngrampungake perkara kluwarga Kasultanan Demak sing wis ngentekake korban akeh.
Kabut kandel nutupi bumi Demak nalika padha ngrebutake kekuasaan. Kuwi disebabake ulahe Bupati Jipang Panolan jenenge Aryo Penangsang sing ora liya anake Pangeran Suryawiyata (Pangeran Sedalepen). Aryo Penangsang gela sawise ngerti yen sing bakal munggah tahta ngganti Sultan ing Demak, Sultan Trenggana sawise seda yaiku ora dheweke, nanging sing diangkat malah Jaka Tingkir sing mung mantune Sultan Trenggana.
Merga gela Aryo Penangsang nduwe niyat elek arep mateni kabeh keturunane Sultan Trenggana. Supaya niyat elek kuwi bisa Kabul Aryo Penangsang nganakake patemon sing ditekani Laskar Soreng. Ing ngarepe Soreng, Aryo Penangsang mrentah supaya mateni gedhe-gedhenan. Sing ping pisan arep dipateni yaiku Pangeran Mukmin lan bojone, minangka piwalese, merga sing ngerti kabeh yen Aryo Penangsang arep mateni Pangeran Suryawiyata. Sing ping loro, mateni Pangeran Hadiri, bojone ratu Kalinyamat. Yen Sultan Pajang Arep dipateni Aryo Penangsang dhewe. Sakwise ngerti perintahe Aryo Penangsang, para Soreng lunga nglakoni tugas sing wis diprentahake.
Para Soreng karo nggawa keris brongot Setan kober ora kangelan nglakoni tugase. Malah, rakyat cilik sing dicurigai mihak utawa mbela Jaka Tingkir utawa Sultan Hadiwijaya dipateni. Sakwise mateni Pangeran Mukmin, para Soreng lunga golek Pangeran Hadiri lan Ratu Kalinyamat sing ngadhep Sunan Kudus. Gang pirang-pirang dina para Soreng ngintik lan nyegat sadawane dalan antarane Kudus nganti Jepara.
Ratu Kalinyamat karo bojone lan para rombongane nalika lagi arep balik dicegat para pengikute Aryo Penangsang. Peperangan uga kedaden kanthi sengit. Ratu Kalinyamat sing jeneng asline Retna Kencana katon kuwat lan cekatan endha lan menthung mungsuhe. Pangeran Hadiri lan pengawale uga gigih nglawan serangan-serangane para Soreng sing arep mateni dheweke. Nanging Pangeran Hadiri kena Keris Brongot Setan Kober sahingga getihe sing metu akeh. Pangeran Hadiri tetep bisa nahan nganti tekan Kalinyamat.
Gang pirang-pirang dina malane Pangeran Hadiri ora malah mari nanging sangsaya nemen. Kanthi cara apa wae wis dilakoni supaya larane amarga kena Keris Brongot Setan Kober mari. Nanging takdir Tuhan sing nemtokake, Pangeran Hadiri seda. Ratu Kalinyamat susah amarga ditinggal lunga bojone yaiku Pangeran Hadiri. Minangka tandha bhekti lan hormat marang bojone, Ratu Kalinyamat mutusake lunga ing Bukit Danaraja (Jepara) arep “tapa uda” sing artine ninggalake busana kaagungan kratone lan nguculake perhiasane kabeh. Ratu Kalinyamat mung nganggo busana biasa kanthi ati kang tulus, sabar njaluk keadilan marang Gusti kang maha kuwasa.
Sultan hadiwijaya karo Ki Pemanahan, Ki Penjawi, lan Ki Jurumertani lunga ing bukit Danaraja nemoni Ratu Kalinyamat ngucapake bela sungkawa lan ngajak Ratu mulih ing Demak. Ratu Kalinyamat ora gelem balik ing Demak utawa ing dalem Kalinyamat. Dheweke pengen tetep nglakoni tapa nganti sakdurunge Aryo Penangsang mati. Krungu omongane Ratu Kalinyamat kaya mau Sultan Hadiwijaya nganakake sayembara “sapa sing bisa ngalahake Jipang Panolan lan nyekel Aryo Penangsang arep diwenehi hadiah bumi Pati lan Alas Mentoak.”
Lagi wae sayembara rampung diumumake wis ana laporan yen Aryo Penangsang malah nantang perang tandhing karo Sultan Hadiwijaya. Krungu laporan kaya mau Sultan Hadiwijaya panas atine lan kepengin cepet-cepet lunga dhewe nemoni Aryo Penangsang. Ki Jurumertani menehi piweling supaya Ki Penjawi, Ki Pemanahan, Danang Sutawijaya lan dheweke dikon melu ngawal. Perang antarane Jipang karo Pajang sing sebenere isih ana hubungan keluarga bakal temenanan kelakon. Minangka panglima perang ditunjuk Ki Penjawi lan Ki Pemanahan. Dheweke setuju dadi panglima perang lan karo nggawa tombak Kyai Pleret lan pembekalan perang rombongan lunga ing perbatasan nyegat pasukan Aryo Penangsang.
Ing watesan Jipang, Aryo Penangsang sing dikawal lascar Soreng wis suwe ngenteni. Karo nunggang jaran gagakrimang lan Keris Kyai Brongot setan Kober sing didokok bangkekane Aryo Penangsang sesumbar sombong. Ora suwe pasukan Pajang teka kanthi gagah berani. Aryo Penangsang sesumbar maneh. Ki Penjawi ora gampang emosi, dheweke ora kesusu nanging nganggo pikiran lan strategi sing cermat.
Sakwise persiapan mateng, minangka panglima perang Ki Penjawi menehi komando serbu. Kurang saitungan sadhetik, perang antarane Jipang Panolan karo pajang kedadean. Akeh prajurit sing mati ing tengah palagan. Kuwi pancen wis dadi resiko peperangan. Nalika peperangan kuwi Aryo Penangsang kena tusukan Tombak Kyai Pleret sing dihujam Danang sutawijaya nganti ususe metu. Wektu kuwi Aryo Penangsang kepengin mateni Raden Danang Sutawijaya. Mula, keris sing ing bangkekan diunus. Usus Aryo Penangsang pedhot kena kerise dhewe, Kyai Brongot Setan Kober. Aryo Penangsang tiba saka jaran Gagakrimang lan sidane mati.
Tandha bukti yen Ki Penjawi wis nglakoni tugase yaiku Ki Penjawi nglapor marang Sultan Hadiwijaya. “lapor sultan, tugas sampun kula tindhakaken”,ujare Ki Penjawi. Isi laporane yaiku siji kabeh kekurangan dadi tanggung jawabe Ki Penjawi minangka pimpinan perang. Ping loro, kasil nglumpuhake Jipang Panolan lan bisa mateni Aryo Penangsang yaiku keberhasilan bareng-bareng antarane Danang Sutawijaya, Ki Jurumertani, Ki Pemanahan, lan Ki Penjawi.
Sultan Hadiwijaya ngucap matur nuwun marang kabeh pihak sing wis nglakoni tugas kanthi hasi kang gtemilang. Perseteruan antarane Jipang Panolan lan Pajang wis ora ana maneh saengga rasa kekancan urip aman bisa Kabul. Kaya apa sing wis dijanjekake nalika sayembara, minangka hadiah Sultan Hadiwijaya jabatan Patih ing kesultanan pajang marang Ki Jurumertani, nyerahake alas mentoak marang ki Pemanahan lan Bumi pati marang Ki Penjawi.
Nalika dina apik Ki Ageng Penjawi mangkat nindakake tugas anyar yaiku mimpin bumi Pati kanthi rasa seneng lan kebak tanggung jawab. Rakyat pati bisa nampa Ki Ageng Penjawi kanthi ramah lan tulus ikhlas. Ora masalahake saka ngendi asal-usule Ki Penjawi yaiku putra asli daerah utawa ora. Semana uga Ki Penjawi ora nduwe sikap sombong, malah rendah hati, ramah lan ora mbeda-mbedakake siji lan sijine.
Minangka pamimpin anyar, Ki Penjawi ora isin-isin ndolani para tokoh rakyat Pati antarane Ki Gede Ragawangsa, Ki Gede Jiwanala, Ki Gede Plangitan lan Ki Gede Jambean. Para tokoh rakyat Pati mau dijaluki saran soal kondisi daerah Pati guna gawe langkah-langkah kanggo gawe kawicaksanan
Langkah pisanan Ki Penjawi nalika mrentah Pati yaiku nata punggawane. Kabeh pejabat saka tingkat cendhek nganti dhuwur kudu bisa nglakoni telung syarat yaiku jujur, disiplin, lan ahli ing bidange dhewe-dhewe. Ki Ageng Penjawi nalika mbangun ndhisikake bidang pertanian merga akeh rakyat Pati dadi Petani. Rakyat ana sing tekun ing bidang peternakan, perikanan, lan cocok tanam.
Saben bidang garapan dicekel ahline saengga nalika ana pekara bisa dirampungake kanthi apik. Daerah pati dadi maju. Rakyat Pati nalika kerja semangat lan dibarengi rasa aman wektu dipimpin Ki Ageng Penjawi. Saiki jeneng Ki Penjawi dadi salah sijining jeneng dalan ing Kutha Pati.
Silsilah Ki Ageng Penjawi yaiku: Raja Brawijaya V duwe anak raden Bondan Kejawan. Raden Bondan Kejawan duwe anak telu, sing kari jenenge Rara Kasihan lan dadi bojone Ki Ageng Ngerang. Pasangan iki nduwe anak yaiku Ki Ageng Ngerang II lan anak wadon sing dipek bojo Ki Ageng Sela. Ki ageng Ngerang II duwe anak papat yaiku ki Ageng Ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V lan Pangeran Kalijenar. Ki Ageng Ngerang III duwe anak jenenge Penjawi.
Silsilah Ki Ageng Pemanahan yaiku : anake Raden Bondan Kejawan sing nomer loro jenenge Ki ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Pandawa nduwe anak Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela duwe anak Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis nduwe anak sing diwenehi jeneng Pemanahan.
Silsilah Ki Jurumertani yaiku: anake Raden Bondan Kejawan sing paling tuwa yaiku Ki Ageng Wanasaba. Ki Ageng Wanasaba nduwe anak Pangeran Made Pandan I. Pangeran Made Pandan I duwe anak Ki Ageng Pakringan sing bojone jenenge rara Janten. Saka pasangan iki nduwe anak papat yaiku Nyai Ageng laweh, Nyai Manggar, Putri, lan Jurumertani.
Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, lan Ki Jurumertani sing isih keturunane Raja Brawijaya kuwi oleh tugas gedhe yaiku melu ngrampungake perkara kluwarga Kasultanan Demak sing wis ngentekake korban akeh.
Kabut kandel nutupi bumi Demak nalika padha ngrebutake kekuasaan. Kuwi disebabake ulahe Bupati Jipang Panolan jenenge Aryo Penangsang sing ora liya anake Pangeran Suryawiyata (Pangeran Sedalepen). Aryo Penangsang gela sawise ngerti yen sing bakal munggah tahta ngganti Sultan ing Demak, Sultan Trenggana sawise seda yaiku ora dheweke, nanging sing diangkat malah Jaka Tingkir sing mung mantune Sultan Trenggana.
Merga gela Aryo Penangsang nduwe niyat elek arep mateni kabeh keturunane Sultan Trenggana. Supaya niyat elek kuwi bisa Kabul Aryo Penangsang nganakake patemon sing ditekani Laskar Soreng. Ing ngarepe Soreng, Aryo Penangsang mrentah supaya mateni gedhe-gedhenan. Sing ping pisan arep dipateni yaiku Pangeran Mukmin lan bojone, minangka piwalese, merga sing ngerti kabeh yen Aryo Penangsang arep mateni Pangeran Suryawiyata. Sing ping loro, mateni Pangeran Hadiri, bojone ratu Kalinyamat. Yen Sultan Pajang Arep dipateni Aryo Penangsang dhewe. Sakwise ngerti perintahe Aryo Penangsang, para Soreng lunga nglakoni tugas sing wis diprentahake.
Para Soreng karo nggawa keris brongot Setan kober ora kangelan nglakoni tugase. Malah, rakyat cilik sing dicurigai mihak utawa mbela Jaka Tingkir utawa Sultan Hadiwijaya dipateni. Sakwise mateni Pangeran Mukmin, para Soreng lunga golek Pangeran Hadiri lan Ratu Kalinyamat sing ngadhep Sunan Kudus. Gang pirang-pirang dina para Soreng ngintik lan nyegat sadawane dalan antarane Kudus nganti Jepara.
Ratu Kalinyamat karo bojone lan para rombongane nalika lagi arep balik dicegat para pengikute Aryo Penangsang. Peperangan uga kedaden kanthi sengit. Ratu Kalinyamat sing jeneng asline Retna Kencana katon kuwat lan cekatan endha lan menthung mungsuhe. Pangeran Hadiri lan pengawale uga gigih nglawan serangan-serangane para Soreng sing arep mateni dheweke. Nanging Pangeran Hadiri kena Keris Brongot Setan Kober sahingga getihe sing metu akeh. Pangeran Hadiri tetep bisa nahan nganti tekan Kalinyamat.
Gang pirang-pirang dina malane Pangeran Hadiri ora malah mari nanging sangsaya nemen. Kanthi cara apa wae wis dilakoni supaya larane amarga kena Keris Brongot Setan Kober mari. Nanging takdir Tuhan sing nemtokake, Pangeran Hadiri seda. Ratu Kalinyamat susah amarga ditinggal lunga bojone yaiku Pangeran Hadiri. Minangka tandha bhekti lan hormat marang bojone, Ratu Kalinyamat mutusake lunga ing Bukit Danaraja (Jepara) arep “tapa uda” sing artine ninggalake busana kaagungan kratone lan nguculake perhiasane kabeh. Ratu Kalinyamat mung nganggo busana biasa kanthi ati kang tulus, sabar njaluk keadilan marang Gusti kang maha kuwasa.
Sultan hadiwijaya karo Ki Pemanahan, Ki Penjawi, lan Ki Jurumertani lunga ing bukit Danaraja nemoni Ratu Kalinyamat ngucapake bela sungkawa lan ngajak Ratu mulih ing Demak. Ratu Kalinyamat ora gelem balik ing Demak utawa ing dalem Kalinyamat. Dheweke pengen tetep nglakoni tapa nganti sakdurunge Aryo Penangsang mati. Krungu omongane Ratu Kalinyamat kaya mau Sultan Hadiwijaya nganakake sayembara “sapa sing bisa ngalahake Jipang Panolan lan nyekel Aryo Penangsang arep diwenehi hadiah bumi Pati lan Alas Mentoak.”
Lagi wae sayembara rampung diumumake wis ana laporan yen Aryo Penangsang malah nantang perang tandhing karo Sultan Hadiwijaya. Krungu laporan kaya mau Sultan Hadiwijaya panas atine lan kepengin cepet-cepet lunga dhewe nemoni Aryo Penangsang. Ki Jurumertani menehi piweling supaya Ki Penjawi, Ki Pemanahan, Danang Sutawijaya lan dheweke dikon melu ngawal. Perang antarane Jipang karo Pajang sing sebenere isih ana hubungan keluarga bakal temenanan kelakon. Minangka panglima perang ditunjuk Ki Penjawi lan Ki Pemanahan. Dheweke setuju dadi panglima perang lan karo nggawa tombak Kyai Pleret lan pembekalan perang rombongan lunga ing perbatasan nyegat pasukan Aryo Penangsang.
Ing watesan Jipang, Aryo Penangsang sing dikawal lascar Soreng wis suwe ngenteni. Karo nunggang jaran gagakrimang lan Keris Kyai Brongot setan Kober sing didokok bangkekane Aryo Penangsang sesumbar sombong. Ora suwe pasukan Pajang teka kanthi gagah berani. Aryo Penangsang sesumbar maneh. Ki Penjawi ora gampang emosi, dheweke ora kesusu nanging nganggo pikiran lan strategi sing cermat.
Sakwise persiapan mateng, minangka panglima perang Ki Penjawi menehi komando serbu. Kurang saitungan sadhetik, perang antarane Jipang Panolan karo pajang kedadean. Akeh prajurit sing mati ing tengah palagan. Kuwi pancen wis dadi resiko peperangan. Nalika peperangan kuwi Aryo Penangsang kena tusukan Tombak Kyai Pleret sing dihujam Danang sutawijaya nganti ususe metu. Wektu kuwi Aryo Penangsang kepengin mateni Raden Danang Sutawijaya. Mula, keris sing ing bangkekan diunus. Usus Aryo Penangsang pedhot kena kerise dhewe, Kyai Brongot Setan Kober. Aryo Penangsang tiba saka jaran Gagakrimang lan sidane mati.
Tandha bukti yen Ki Penjawi wis nglakoni tugase yaiku Ki Penjawi nglapor marang Sultan Hadiwijaya. “lapor sultan, tugas sampun kula tindhakaken”,ujare Ki Penjawi. Isi laporane yaiku siji kabeh kekurangan dadi tanggung jawabe Ki Penjawi minangka pimpinan perang. Ping loro, kasil nglumpuhake Jipang Panolan lan bisa mateni Aryo Penangsang yaiku keberhasilan bareng-bareng antarane Danang Sutawijaya, Ki Jurumertani, Ki Pemanahan, lan Ki Penjawi.
Sultan Hadiwijaya ngucap matur nuwun marang kabeh pihak sing wis nglakoni tugas kanthi hasi kang gtemilang. Perseteruan antarane Jipang Panolan lan Pajang wis ora ana maneh saengga rasa kekancan urip aman bisa Kabul. Kaya apa sing wis dijanjekake nalika sayembara, minangka hadiah Sultan Hadiwijaya jabatan Patih ing kesultanan pajang marang Ki Jurumertani, nyerahake alas mentoak marang ki Pemanahan lan Bumi pati marang Ki Penjawi.
Nalika dina apik Ki Ageng Penjawi mangkat nindakake tugas anyar yaiku mimpin bumi Pati kanthi rasa seneng lan kebak tanggung jawab. Rakyat pati bisa nampa Ki Ageng Penjawi kanthi ramah lan tulus ikhlas. Ora masalahake saka ngendi asal-usule Ki Penjawi yaiku putra asli daerah utawa ora. Semana uga Ki Penjawi ora nduwe sikap sombong, malah rendah hati, ramah lan ora mbeda-mbedakake siji lan sijine.
Minangka pamimpin anyar, Ki Penjawi ora isin-isin ndolani para tokoh rakyat Pati antarane Ki Gede Ragawangsa, Ki Gede Jiwanala, Ki Gede Plangitan lan Ki Gede Jambean. Para tokoh rakyat Pati mau dijaluki saran soal kondisi daerah Pati guna gawe langkah-langkah kanggo gawe kawicaksanan
Langkah pisanan Ki Penjawi nalika mrentah Pati yaiku nata punggawane. Kabeh pejabat saka tingkat cendhek nganti dhuwur kudu bisa nglakoni telung syarat yaiku jujur, disiplin, lan ahli ing bidange dhewe-dhewe. Ki Ageng Penjawi nalika mbangun ndhisikake bidang pertanian merga akeh rakyat Pati dadi Petani. Rakyat ana sing tekun ing bidang peternakan, perikanan, lan cocok tanam.
Saben bidang garapan dicekel ahline saengga nalika ana pekara bisa dirampungake kanthi apik. Daerah pati dadi maju. Rakyat Pati nalika kerja semangat lan dibarengi rasa aman wektu dipimpin Ki Ageng Penjawi. Saiki jeneng Ki Penjawi dadi salah sijining jeneng dalan ing Kutha Pati.
KI AGENG PANDANARAN
Crita iki diwiwiti saka Kerajaan Demak Bintara, kerajaan Islam sing sepisan neng tlatah Jawa, rajane jenenge Raden Patah. Dheweke keturunan Brawijaya sing omah-omah karo putri Tiongkok. Merga tlaten dheweke bisa mbangun krajaane sing ndadekake rakyate urip makmur lan bias tentrem anggone nglakoni ibadah agamane. Sawise Raden Patah seda, mula sing nggenteni dadi raja ora liya anak mbarepe sing jenenge Pangeran Sepuh utawa Pangeran Sepuh Sabrang Lor. Pangeran iki duwe anak lanang jenenge Pangeran Made Pandan lan dikarepake sing bakal nggenteni dheweke.
Nanging, apa sing dikarepake dening Pangeran Sepuh Sabrang Lor ora bakal kawujud, merga Pangeran Made Pandan ora gelem dadi Sultan. Dheweke kepengin dadi ulama gedhe lan nyepi arep nglakoni tapa, uga ngangsu kawruh bab agama. Dhek bapake seda, kuwasane diwenehake marang Paklike, Raden Trenggana diangkat dadi Sultan Demak ketelu. Pangeran Made Pandan banjur ninggalake Kasultanan Demak lan ngumbara nuju arah Kidul sig ora bakal dingerteni dening sedulur Kasultanan.
Sajroning pangumbaran, dheweke mesthi ngajarake lan ngangsu kawruh bab agama Islam. Saya suwe anggone mlaku, lan ora dirasa dheweke wis tekan ing sawijining panggonan sing diarani Bergota. Neng panggonan iku, dheweke ngedegake pondho-pondhok pesantren kanggho para pandhereke kanggo ngangsu kawruh lan nyebarake agama Islam. Kanthi sarujuke Sultan Demak, Pangeran Made Pandan mbukak alas anyar lab ngedegake omah uga gawe kampung. Ngelingi alas mau akeh wit asem arang-arang, tegese asem sing jarake adoh-adoh, mula diarani Semarang (asale saka tembung asem “asam”, lan arang “jarang”). Merga tlaten lan sabar anggone mulang warga bab agama, Pangeran Made Pandan banjur kesuwur kanthi paraban Ki Ageng Pandanaran. Banjur dheweke ngedegake Kabupaten Semarang sing diestoni dening Sultan Demak lan Ki Ageng Pandanaran diangkat dadi bupati sing sepisanan ing Semarang. Dheweke nglakoni pamarentahan kanthi wicaksana lan tlaten. Ki Ageng Pandanaran duwe anak sing uga kesuwur kanthi paraban Ki Ageng Pandanaran. Pungkasane, Bupati Pandanaran (Pangeran Made Pandan) tilar donya. Lan disarekake ig Pegunungan Pakis Aji (Telomoyo) sing manggon ing sisih wetan Bergota. Ki Ageng Pandanaran nggantekake kalungguhane bupati Semarang merga saka warisane jenate bapake. Dheweke mimpin Pamarentahan kanthi apik lan mesthi manut karo ajaran-ajaran Islam kaya dene jenate bapake. Nanging suwe-suwe ana owah-owahan. Dheweke sing maune apikan aten iku saiki wis malih dadi luntur. Tughas-tugas pamarentah sing maune digarap nganti rampung lan tumata kanthi thirik-thirik, saiki wis wiwit kerep ora digubres lan digarap, apa maneh pondhok-pondhok pesantrene lan panggonan kanggo ngibadah sing wis wiwit ora dirumat maneh. Nanging bejane sing kaya mangkono mau nuli dimangerteni dening Sultan Bintara, mula oa dadi kedarung-darung tekan ngendi-endi.
Sultan Demak ngupayakake kanggo nginsyafke Ki Ageng Pandanaran kanthi prantaran utusane, nanging kekarepane Sultan Demak ora diwangsuli nanging malah diece entek-entekan. Ngerteni kahanan sing kaya mangkono, mula Sultan Demak nganakake rembugan gedhen sing bakal ditekani dening para pejabat lan tokoh agama, ing antarane para Walisanga. Kanggo ngemban tugas kuwi, diputuske yen sunan Kalijaga ditunjuk dadi utusan Sultan Demak.
Sunan kalijaga nyamar dadi tukang suket sing nawakake dagangan sukete neng plataran Kabupaten Semarang kanggo pakan jaran piyaraane. Sawise suket mau dituku, banjur dibongkar dening tukang jaran sing pranyata ing jerone mau ditemokake emas sakepel sing pating kumeclap. Emas sakepel mau banjur diakoni dening sang bupati dadi duweke. Kahanan kaya mangkono iku kedadeyan nganti ping pirang-pirang nganti emas sing ditampa yen dijumlahke wis mesthi akeh banget lan samsaya srakah lan tamak bae bupati mau. Nalika tukang mau ngandhakake marang sang bupati ngenani emas sakepel mau nanging kasunyatane ora diakoni yen dhewee nympen emas duweke tukang suket.
Mula si tukang suket mau meneng sedhela ndonga marang Gusti kang Murbng Dumadi supaya diwenehi pituduh lan dalan kanggo nakluke sag bupati Semarang tanpa mancing tukaran utawa padudon. Si tuang suket ngandharake yen sang bupati ora ngakoni ora dadi ngapa, malah yen sang bupati isih kepengin emas s9ing luwih akeh maneh, dheweke saguh kanggo nduduhake neng endi panggonan emas-emas mau. Sawise ngrungokake tembung-tembung mau, tanpa isin-isin sang bupati terus meksa supaya age-age diduduhake neng endi panggonan emas sing dimaksud mau.
Sing dodol suket ngongkon sang bupati supaya macul lemah neng platarane Kabupaten. Wiwitane sang bupati ngrasa mamang, nanging merga anggone duwe kekarepan kpengin entuk emas sing luwih akeh, mula pangrasa sing kaya mangkono iku dilalekake, lan panjaluke tukang suket mau dituruti. Kanthi gedhe lan kuwasane Sang Maha Wikan, mula kasunyatane saben kilan lemah sing dipacul mau dadi emas. Mula sang bupati kanthi rasa ati sing bungah, banjur nerusake anggone macul, dheweke ngrasa samsaya kesel lan wis ora saguh maneh anggone ngayunke pacule.
Wiwit saka kedadeyan sing lagi bae dilakono, dheweke sadhar yen apa sing diadhepi kuwi dudu sembarang wong. Merga ora percaya yen wong sing dodol suket bias nggenti lemah dadi emas. Dheweke ngrumangsani yen dheweke wis kesasar lan keblusuk ing padonyanan. Pungkasane dheweke takon sapa sejatine sing dodol suket iku, lan wangsulane yen dheweke sejatine Sunan Kalijaga, salah sijine saka Walisanga. Krungu kaya mangkoni iku, sang bupati age-age njaluk ngapura ngenani apa sing wis dadi kaluputane, lan sang bupati pungkasane gelem diangkat dadi murite Sunan Kalijaga, nanging kudu ana syarate. Banjur Sunan Kalijaga pamit arep ngadhep marang sang Baginda Sultan Demak, lan ing wektu sing ditemtokake dheweke arep tka maneh padha karo kanggo ngumbara.
Sawise Sunan Kalijaga lunga, bupati Pandanaran wiwit tata-tata kanggo nyiapake pangumbarane. Sakliyane kuwi dheweke mesthi sedekah lan ngamalke bandhane kanggo fakir miskin, kanggo netepi janjine. Ki Ageng Pandanarang karo bojone ngumbara kanggo nggolek sing dinggo nemeni plajarane marang agama Islam, khususe ing Jawa. Pungkasane Ki Ageng pandanaran netep ing Klaten Jawa Tengah nganti seda lan diarekake ing Gunung Jabalkat, nganti saiki kuburan Sunan Tembayat isih rame ditekani dadi objek wisata ziarah sakgandheng karo ziarah Walisanga.
Nanging, apa sing dikarepake dening Pangeran Sepuh Sabrang Lor ora bakal kawujud, merga Pangeran Made Pandan ora gelem dadi Sultan. Dheweke kepengin dadi ulama gedhe lan nyepi arep nglakoni tapa, uga ngangsu kawruh bab agama. Dhek bapake seda, kuwasane diwenehake marang Paklike, Raden Trenggana diangkat dadi Sultan Demak ketelu. Pangeran Made Pandan banjur ninggalake Kasultanan Demak lan ngumbara nuju arah Kidul sig ora bakal dingerteni dening sedulur Kasultanan.
Sajroning pangumbaran, dheweke mesthi ngajarake lan ngangsu kawruh bab agama Islam. Saya suwe anggone mlaku, lan ora dirasa dheweke wis tekan ing sawijining panggonan sing diarani Bergota. Neng panggonan iku, dheweke ngedegake pondho-pondhok pesantren kanggho para pandhereke kanggo ngangsu kawruh lan nyebarake agama Islam. Kanthi sarujuke Sultan Demak, Pangeran Made Pandan mbukak alas anyar lab ngedegake omah uga gawe kampung. Ngelingi alas mau akeh wit asem arang-arang, tegese asem sing jarake adoh-adoh, mula diarani Semarang (asale saka tembung asem “asam”, lan arang “jarang”). Merga tlaten lan sabar anggone mulang warga bab agama, Pangeran Made Pandan banjur kesuwur kanthi paraban Ki Ageng Pandanaran. Banjur dheweke ngedegake Kabupaten Semarang sing diestoni dening Sultan Demak lan Ki Ageng Pandanaran diangkat dadi bupati sing sepisanan ing Semarang. Dheweke nglakoni pamarentahan kanthi wicaksana lan tlaten. Ki Ageng Pandanaran duwe anak sing uga kesuwur kanthi paraban Ki Ageng Pandanaran. Pungkasane, Bupati Pandanaran (Pangeran Made Pandan) tilar donya. Lan disarekake ig Pegunungan Pakis Aji (Telomoyo) sing manggon ing sisih wetan Bergota. Ki Ageng Pandanaran nggantekake kalungguhane bupati Semarang merga saka warisane jenate bapake. Dheweke mimpin Pamarentahan kanthi apik lan mesthi manut karo ajaran-ajaran Islam kaya dene jenate bapake. Nanging suwe-suwe ana owah-owahan. Dheweke sing maune apikan aten iku saiki wis malih dadi luntur. Tughas-tugas pamarentah sing maune digarap nganti rampung lan tumata kanthi thirik-thirik, saiki wis wiwit kerep ora digubres lan digarap, apa maneh pondhok-pondhok pesantrene lan panggonan kanggo ngibadah sing wis wiwit ora dirumat maneh. Nanging bejane sing kaya mangkono mau nuli dimangerteni dening Sultan Bintara, mula oa dadi kedarung-darung tekan ngendi-endi.
Sultan Demak ngupayakake kanggo nginsyafke Ki Ageng Pandanaran kanthi prantaran utusane, nanging kekarepane Sultan Demak ora diwangsuli nanging malah diece entek-entekan. Ngerteni kahanan sing kaya mangkono, mula Sultan Demak nganakake rembugan gedhen sing bakal ditekani dening para pejabat lan tokoh agama, ing antarane para Walisanga. Kanggo ngemban tugas kuwi, diputuske yen sunan Kalijaga ditunjuk dadi utusan Sultan Demak.
Sunan kalijaga nyamar dadi tukang suket sing nawakake dagangan sukete neng plataran Kabupaten Semarang kanggo pakan jaran piyaraane. Sawise suket mau dituku, banjur dibongkar dening tukang jaran sing pranyata ing jerone mau ditemokake emas sakepel sing pating kumeclap. Emas sakepel mau banjur diakoni dening sang bupati dadi duweke. Kahanan kaya mangkono iku kedadeyan nganti ping pirang-pirang nganti emas sing ditampa yen dijumlahke wis mesthi akeh banget lan samsaya srakah lan tamak bae bupati mau. Nalika tukang mau ngandhakake marang sang bupati ngenani emas sakepel mau nanging kasunyatane ora diakoni yen dhewee nympen emas duweke tukang suket.
Mula si tukang suket mau meneng sedhela ndonga marang Gusti kang Murbng Dumadi supaya diwenehi pituduh lan dalan kanggo nakluke sag bupati Semarang tanpa mancing tukaran utawa padudon. Si tuang suket ngandharake yen sang bupati ora ngakoni ora dadi ngapa, malah yen sang bupati isih kepengin emas s9ing luwih akeh maneh, dheweke saguh kanggo nduduhake neng endi panggonan emas-emas mau. Sawise ngrungokake tembung-tembung mau, tanpa isin-isin sang bupati terus meksa supaya age-age diduduhake neng endi panggonan emas sing dimaksud mau.
Sing dodol suket ngongkon sang bupati supaya macul lemah neng platarane Kabupaten. Wiwitane sang bupati ngrasa mamang, nanging merga anggone duwe kekarepan kpengin entuk emas sing luwih akeh, mula pangrasa sing kaya mangkono iku dilalekake, lan panjaluke tukang suket mau dituruti. Kanthi gedhe lan kuwasane Sang Maha Wikan, mula kasunyatane saben kilan lemah sing dipacul mau dadi emas. Mula sang bupati kanthi rasa ati sing bungah, banjur nerusake anggone macul, dheweke ngrasa samsaya kesel lan wis ora saguh maneh anggone ngayunke pacule.
Wiwit saka kedadeyan sing lagi bae dilakono, dheweke sadhar yen apa sing diadhepi kuwi dudu sembarang wong. Merga ora percaya yen wong sing dodol suket bias nggenti lemah dadi emas. Dheweke ngrumangsani yen dheweke wis kesasar lan keblusuk ing padonyanan. Pungkasane dheweke takon sapa sejatine sing dodol suket iku, lan wangsulane yen dheweke sejatine Sunan Kalijaga, salah sijine saka Walisanga. Krungu kaya mangkoni iku, sang bupati age-age njaluk ngapura ngenani apa sing wis dadi kaluputane, lan sang bupati pungkasane gelem diangkat dadi murite Sunan Kalijaga, nanging kudu ana syarate. Banjur Sunan Kalijaga pamit arep ngadhep marang sang Baginda Sultan Demak, lan ing wektu sing ditemtokake dheweke arep tka maneh padha karo kanggo ngumbara.
Sawise Sunan Kalijaga lunga, bupati Pandanaran wiwit tata-tata kanggo nyiapake pangumbarane. Sakliyane kuwi dheweke mesthi sedekah lan ngamalke bandhane kanggo fakir miskin, kanggo netepi janjine. Ki Ageng Pandanarang karo bojone ngumbara kanggo nggolek sing dinggo nemeni plajarane marang agama Islam, khususe ing Jawa. Pungkasane Ki Ageng pandanaran netep ing Klaten Jawa Tengah nganti seda lan diarekake ing Gunung Jabalkat, nganti saiki kuburan Sunan Tembayat isih rame ditekani dadi objek wisata ziarah sakgandheng karo ziarah Walisanga.
Langganan:
Postingan (Atom)
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) PROGRAM KEAHLIAN FARMASI KLINIS DAN KOMUNITAS
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) PROGRAM KEAHLIAN FARMASI KLINIS DAN KOMUNITAS SMK APOTEK QIRANI FARMA (Waktu Pelaksanaan: ...
-
L APORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL) PT DELAPAN JAYA PERKASA GARMEN Disusun sebagai laporan pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (P...
-
KATA PENGANTAR Puji Syukur Kami Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan pertolonganNya sehingga penyusunan makalah menge...
-
Nalika jaman biyen, ana wong telu kang merguru ing padhepokan Argo Dimillah ing gunung Lawu. Kang lanang, jenenge Bayulan Giri, yen sing wad...